Sabtu, 13 Juni 2020

PENELITIAN TINDAKAN KELAS IPA




Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar IPA (Fisika) Siswa Kelas IX G SMPN 1 Abang 
Oleh 
I Wayan Suriasa,S.Pd. 
Guru IPA (Fisika) SMP Negeri 1 Abang

ABSTRAK

 Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk (1) meningkatkan aktivitas belajar siswa, (2) meningkatkan prestasi belajar siswa dan (3) mendeskripsikan respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) pada pelajaran IPA (Fisika).Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang pada semester 2 tahun pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 42 orang. Obyek penelitian ini adalah (1) aktivitas belajar siswa, (2) prestasi belajar siswa dan (3) respon siswa. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi/evaluasi, dan refleksi. Data penelitian berupa: data aktivitas belajar siswa, data prestasi belajar, dan data respon siswa. Data aktivitas belajar dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi, data prestasi belajar siswa dikumpulkan dengan tes dan respon siswa dikumpulkan dengan angket. Data yang telah terkumpul tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif atau kualitatif. Hasil analisis data penelitian ini, pada siklus I rata-rata aktivitas belajar adalah 2,77 dengan kualifikasi cukup aktif. Pada siklus II rata-rata aktivitas belajar adalah 3,78 dengan kualifikasi aktif. Pada siklus I rata-rata hasil belajar dan ketuntasan klasikal berturut-turut adalah 67,98 dan 73,81 % dengan kualifikasi belum tuntas. Pada siklus II rata-rata kelas dan ketuntasan klasikal secara berturut-turut adalah 78,19 dan 90,48 % dengan kualifikasi tuntas. Respon siswa kelas IXG SMP Negeri 1 Abang setelah diterapkan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) pada pelajaran IPA (Fisika) memiliki dengan rata-rata 47,46 dalam kualifikasi positif. 



BAB I 

PENDAHULUAN 

1.1 Latar Belakang Masalah 
Undang Undang Dasar 1945 dalam pembukaannya menyebutkan bahwa tujuan nasional Bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia memandang pendidikan tersebut sangat penting artinya bagi kehidupan berbangsa dan negara. Bangsa Indonesia akan maju apabila pendidikan telah terselenggara dengan baik. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang sangat penting karena pendidikan merupakan jembatan yang akan menghantarkan pada suatu tujuan hidup berbangsa dan bernegara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Menurut UU No. 20 tahun 2003 “Tujuan Pendidikan Nasional adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya, yang cerdas, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”(dalam Depdiknas, 2003). 

Dengan demikian, pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang sangat penting dan diharapkan mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang profesional dalam bidangnya, dan memiliki disiplin tinggi serta berbudi pekerti yang luhur. Namun realita menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia belum berjalan dengan baik. Ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pendidikan Internasional terhadap 120 negara dimana Indonesia berada pada urutan hampir mendekati juru kunci. Mengingat pentingnya pendidikan bagi kehidupan bangsa dan negara maka Bangsa Indonesia dalam hal ini adalah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah melakukan berbagai upaya untuk menanganinya. Upaya–upaya tersebut antara lain program Wajib Belajar 9 tahun (Wajar), program BOS (Biaya Operasional Sekolah), Program sekolah gratis, menyusun dan menyempurnakan kurikulum KTSP, program sertifikasi untuk para guru, meningkatkan sarana dan prasarana belajar serta melaksanakan penataran guru-guru termasuk mengembangkan berbagai metode dan model pembelajaran. 
Pendidikan memiliki kaitan erat dengan sekolah, karena sekolah merupakan tempat pendidikan formal. Setiap sekolah memiliki visi dan misi yakni ingin menghasilkan sumber daya yang berkualitas, handal, beriman dan tanggap terhadap perkembangan sains, teknologi dan isu-isu di masyarakat. Dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan setiap sekolah berusaha melengkapi sarana dan prasarana pendidikan yang menjadi penunjang dalam proses pembelajaran. Disamping itu, sekolah juga melaksanakan berbagai inovasi program pendidikan antara lain: penyempurnaan kurikulum disesuaikan dengan lingkungan sekolah, pengadaan buku/bahan ajar dan buku referensi yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi pendidikan mereka serta memotivasi untuk mengikuti program sertifikasi guru, dan peningkatan manajemen pendidikan. 
Begitu pula dengan usaha peningkatkan mutu pendidikan IPA dengan melengkapi berbagai sarana dan prasarana termasuk laboratoriumnya, dan meningkatkan kualitas tenaga pengajar. Namun, mutu pendidikan IPA (Fisika) masih menempati ranking terbawah diantara mata pelajaran yang lain, dikarenakan prestasi siswa dalam belajar IPA (Fisika) masih jauh dari harapan. Masih rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa khususnya Fisika tidak terlepas dari peran guru dalam proses pembelajaran di sekolah. Sebagian besar para guru IPA masih menganut model pembelajaran konvensional yang didasarkan atas asumsi tersembunyi “Pengetahuan dapat dipindahkan secara langsung ke dalam pikiran siswa” dalam Suastra (1999:9). Dengan asumsi tersebut, para guru memfokuskan diri dalam upaya penuangan pengetahuan dan konsep-konsep ke dalam pikiran siswanya. Dengan cara mengajar demikian mungkin siswanya tidak akan pernah belajar. 

Permasalahan lainnya yaitu keadaan siswa yang berbeda–beda (heterogen) baik dalam minat, kemampuan awal, kecerdasan, kecepatan belajar maupun motivasi belajar. Sistem pembelajaran dengan menggunakan metode konvensional/ceramah yang selama ini masih banyak dipertahankan oleh guru belum bisa mengatasi tingkat perbedaan tersebut. 

Untuk mengetahui pencapaian tujuan pembelajaran, maka setiap akhir program pembelajaran dilakukan evaluasi terhadap siswa. Salah satu hasil evaluasi tersebut adalah prestasi belajar IPA (Fisika). Sebagai contoh, prestasi belajar IPA (Fisika) di SMP Negeri 1 Abang tempat penelitian ini diadakan masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari Rata-Rata Nilai Ujian Akhir IPA SMP Negeri 1 Abang empat tahun berturut-turut yaitu 2004/2005, 2005/2006, 2006/2007, 2007/2008 pada tabel 1.1 sebagai berikut. 

Tabel 1. Rata-Rata Nilai Ujian Akhir IPA

Mata Pelajaran

2004/2005

2005/2006

2006/2007

2007/2008

IPA

5,45

6,30

6,43

6,33

(Daftar Nilai Ujian Akhir SMP Negeri 1 Abang)

 Prestasi belajar siswa untuk mata pelajaran IPA seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa pengelolaan pembelajaran IPA belum optimal dengan nilai rata-rata IPA masih rendah. Rendahnya prestasi belajar IPA (Fisika) siswa yang ditunjukkan oleh  NUAN siswa sebagaimana tersebut di atas, dapat diduga bahwa secara umum model pembelajaran IPA (Fisika) yang diterapkan selama ini, sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa belum mampu menunjang pencapaian tujuan kurikuler, di samping adanya faktor internal yang lain seperti aktivitas belajar siswa terhadap mata pelajaran yang dipelajari. Secara umum berdasarkan kondisi tersebut di atas prestasi belajar siswa pada pelajaran IPA (Fisika) di SMP Negeri 1 Abang masih berada di bawah standar minimal yang ditetapkan secara nasional yakni 6,5 (Kurikulum SMP tentang Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar, 1994:37). Ini berarti tujuan-tujuan pengajaran IPA (Fisika) belum mencapai ketuntasan belajar.

Di samping itu aktivitas belajar siswa sangat rendah. Aktivitas belajar sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar karena aktivitas belajar tinggi maka perolehan prestasi belajar IPA lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki aktivitas belajar rendah. Jadi, faktor dominan yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah aktivitas belajar siswa terhadap pelajaran yang sedang dipelajari. Sehubungan dengan aktivitas belajar siswa terhadap pelajaran yang dipelajari dan hubungannya dengan prestasi belajar yang dicapai, Ainly (1990:10) mengungkapkan bahwa prestasi belajar tidak hanya ditentukan oleh perangkat keras dan perangkat lunak, tetapi juga oleh aktivitas orang untuk belajar. Oleh karenanya, aktivitas siswa terhadap pelajaran yang sedang dipelajari perlu dibina agar siswa menyadari mengenai sikapnya sehingga mampu mengadakan perbaikan-perbaikan yang dianggap positif demi meningkatkan prestasi belajarnya.

Prestasi belajar IPA (Fisika) dan aktivitas belajar di kelas IX G SMP Negeri 1 Abang sangat rendah. Berdasarkan hasil observasi di kelas IX G SMP Negeri 1 Abang menunjukkan bahwa guru yang mengajar di kelas IX G  merasa belum terampil dalam melaksanakan pembelajaran IPA (Fisika) secara bermakna, guru mengalami kesulitan dalam menyesuaikan strategi pembelajaran dengan kemampuan siswa yang beragam, dan pembelajaran yang dilakukan cenderung bersifat konvensional. Di samping itu hasil wawancara dengan guru pengajar menunjukkan bahwa: 1) guru belum menerapkan teori belajar dalam pembelajarannya, padahal keberhasilan pembelajaran IPA (Fisika) sangat besar ditentukan oleh penerapan teori belajarnya, 2) guru mengalami kesulitan dalam menyesuaikan strategi pembelajarannya dengan kemampuan siswa yang beragam. Semua yang dikemukakan oleh guru pengajar di atas pada dasarnya merupakan penyebab prestasi belajar IPA (Fisika) siswa belum optimal, 3)  aktivitas belajar siswa di kelas IX G masih relatif rendah, sebagian besar siswa beranggapan bahwa Fisika adalah pelajaran sulit, banyak rumus sehingga membosankan sehingga banyak siswa yang bercanda dan kurang merespon apa yang disajikan guru selama pembelajaran berlangsung. Siswa sering mengalami kesulitan dalam memahami konsep, ini merupakan dampak dari pembelajaran konvensional yang lebih menekankan pada pengahafalan materi-materi atau contoh-contoh yang diberikan oleh guru tanpa terjadi pembentukan konsep yang benar dalam struktur kognitif siswa. Keadaan seperti ini membuat siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep sehingga berisiko tinggi terjadinya miskonsepsi.

Untuk itu, guru hendaknya mencari pemecahan-pemecahan permasalahan diatas dengan menerapkan beberapa metode dan model-model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa berperan aktif dalam pembelajaran adalah model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI). Model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) merupakan pembelajaran kooperatif dengan banyak menonjolkan pengajaran secara individual (Slavin, 1990; Nur & Wikandari, 2000). Pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang dibentuk dalam suatu kelompok kecil di mana siswa bekerja sama serta mengoptimalkan keterlibatan dirinya dan anggota kelompok dalam belajar. Sehubungan dengan itu Tantra (1998 : 13) mengatakan bahwa peran sebagai individu dapat dimaksimalkan dalam belajar secara kooperatif karena 

1) sumbangan setiap anggota kelompok diakui, 

2) siswa belajar mengintegrasikan dan mensintesiskan beraneka ragam pandangan siswa lain dalam kelompok, 

3) siswa belajar memilih beberapa alternatif yang tersedia untuk mengoreksi pendapat mereka atau pendapat orang lain, 

4) siswa melakukan beraneka macam tugas yang selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing namun dibantu oleh siswa lain dalam satu kelompok, dan 

5) setiap anggota kelompok dapat dievaluasi berdasarkan atas kriteria sendiri. 

Dengan demikian pembelajaran secara kooperatif memungkinkan siswa belajar secara kolaboratif dengan memaksimalkan produktivitas dan prestasi belajar mereka secara individual maupun secara kelompok. 

Bertolak dari hasil penelitian Ardana (2000) yang merekomendasikan bahwa model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dapat dengan mudah dilaksanakan di lapangan dengan bertitik tolak dari kebiasaan guru mengajar, sehingga penelitian ini diarahkan pada penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI). Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dalam pembelajaran IPA (Fisika) didasari atas realita yang ditemui di lapangan bahwa model konvensional telah menjadi kebiasaan guru dalam melaksanakan pembelajaran IPA (Fisika) di dalam kelas, dan model konvensional sangat sulit untuk digantikan dengan model pembelajaran yang lain. Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) juga didasari atas teori belajar konstruktivis. Hal ini dilakukan atas dasar bahwa penalaran formal siswa akan menentukan bagaimana siswa melakukan recalling terhadap pengetahuan yang telah tersimpan di dalam struktur kognitifnya dan bagaimana siswa menata simpanan konsep yang diterimanya ke dalam konsep-konsep relevan yang telah ada. Kemampuan berpikir formal yang dimiliki siswa akan membantu mereka untuk mengaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan konsep-konsep baru yang akan diterima. Itu sebabnya penalaran formal siswa juga menjadi pertimbangan dalam penelitian ini. 

Berdasarkan uraian-uraian di atas, kegiatan penelitian ini tentang penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009. 



1.2 Rumusan Masalah 

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan yang dicari pemecahannya dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai sebagai berikut. 

1) Bagaimanakah penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) terhadap peningkatkan aktivitas belajar IPA (Fisika) siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009? 

2) Bagaimanakah penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) terhadap peningkatkan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009? 

3) Bagaimanakah respon siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang terhadap penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)? 

1.3 Tujuan Penelitian 

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data empiris tentang aktivitas, prestasi belajar IPA (Fisika) dan respon siswa dengan penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI). Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 

1) Untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar IPA (Fisika) siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009 melalui penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI). 

2) Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009 melalui penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI). 

3) Untuk mendeskripsikan respon siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang terhadap penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dalam pembelajaran IPA (Fisika). 



1.4 Manfaat Penelitian 

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 

1. Bagi siswa 

Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dalam pembelajaran IPA (Fisika) dapat memberikan pengalaman bagi siswa untuk bertanggung jawab, berpikir formaldan mengkaitkan konsep-konsep relevan atas pembelajaran yang telah dilakukannya. Kemampuan berpikir formal yang dimiliki siswa akan membantu mereka untuk mengaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan konsep-konsep baru yang akan diterima. Penerapan penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dalam pembelajaran IPA (Fisika) diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa terhadap pembelajaran IPA (Fisika). 


2. Bagi guru IPA 

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi guru-guru yang mengajar mata pelajaran IPA (Fisika), khususnya pada tingkat SMP. Hasil penelitian ini dapat dipakai para guru sebagai salah satu alternatif dalam memilih model pembelajaran sebagai upaya meningkatkan prestasi belajar IPA (Fisika) dan aktivitas belajar siswa. 


Bagi Peneliti 

Penelitian tindakan ini dapat memberikan pengalaman langsung bagi peneliti sebagai seorang guru IPA (Fisika) dalam menerapkan pembelajaran IPA (Fisika) dengan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dalam upaya memperbaiki kualitas pembelajaran. 


Bagi Sekolah 

Penelitian ini mengkaji pengaruh penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) terhadap aktivitas dan prestasi belajar IPA (Fisika). Ditemukannya penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dalam pembelajaran IPA (Fisika), terhadap aktivitas dan prestasi belajar IPA (Fisika), diharapkan menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pendidikan, untuk memperkaya studi tentang model pembelajaran dalam usaha meningkatkan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa. Dengan meningkatnya prestasi belajar IPA (Fisika) siswa akan dapat meningkatkan prestasi dan prestise SMP Negeri 1 Abang sehingga mampu bersaing dengan SMP lainnya, khususnya di Kabupaten Karangasem. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar pada mata pelajaran lainnya.

 

1.5  Batasan Masalah

Ruang lingkup permasalahan yang dimaksud adalah pembatasan masalah untuk memperjelas ruang lingkup penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki proses pembelajaran di kelas. Penelitian ini menggunakan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) yang dilaksanakan dalam dua siklus. Subyek penelitian adalah siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009 dengan mengambil obyek penelitian adalah aktivitas belajar, prestasi belajar IPA (Fisika) dan respon siswa siswa kelas IX G  SMP Negeri 1 Abang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

 

2.1  Hakikat Pendidikan Sains (IPA)

Pendidikan Sains (IPA) merupakan salah satu aspek pendidikan menggunakan Sains (IPA) sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya dan pendidikan Fisika pada khususnya. Salah satu sasaran yang dapat dicapai melalui pendidikan Sains (IPA) adalah pengertian Sains (IPA) itu sendiri (Amien,1987) dalam (Kusmono, 2002:10). Untuk mendefinisikan Sains (IPA) secara ringkas dan sederhana dan dapat diterima secara universal tidaklah mudah. Sains (IPA) pada hakekatnya mencakup dua dimensi yaitu sains sebagai produk dan sains sebagai proses. Sains merupakan kumpulan pengetahuan yang meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang disebut produk sains, dan sains sebagai keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan disebut proses sains (Sadia, 2001: 12).

Menurut Djojonegoro (dalam Rideng, 1996:4) Sains (IPA) sebagai proses merupakan “ sistem berpikir dan cara kita memandang dunia, memahaminya dan mengendalikannya”. Belajar Sains (IPA) bagi pelajar tidak lagi sebagai penerimaan informasi tentang Sains tetapi merupakan suatu proses pengembangan keterampilan berpikir tentang sains. Tujuan utama pendidikan sains (IPA), khususnya Fisika adalah mengembangkan individu-individu yang literasi sains. Literasi sains ini meliputi pengetahuan tentang usaha ilmiah dan aspek-aspek fundamental tentang Sains (IPA), yaitu konsep dan prinsip ilmiah, hukum-hukum dan teori ilmiah, serta keterampilan inkuari (Sadia, 1997:18). Penguasaan sains sangat esensial dalam membentuk manusia yang literasi sains, teknologi dan lingkungan. Individu yang literasi sains memiliki kemampuan untuk menggunakan aspek-aspek sains dalam memecahkan masalah-masalah pada kehidupan sehari-hari khususnya yang berkaitan dengan lingkungan dan mampu mengambil keputusan bagi kepentingan umum maupun personal. Esensi sains adalah kegunaannya sebagai alat penemuan pengetahuan dengan jalan observasi, eksperimen, dan pemecahan masalah.

Sains (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan sains di sekolah menengah diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Selama ini, tampaknya pengajaran Sains (IPA) khususnya Fisika di sekolah memberikan tekanan yang jauh lebih besar terhadap sains sebagai produk daripada sains sebagai proses. Pendidikan sains (IPA) pada hakekatnya tidak hanya digunakan untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga dapat digunakan sebagai wahana klarifikasi nilai serta mampu memelihara lingkungan dari kerusakan-kerusakannya, yang selama ini kurang mendapat perhatian para guru IPA khususnya Fisika (Sadia, 1998:10). Oleh sebab itu, pendidikan Sains hendaknya ditekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa agar mampu menjelajahi dan memahami lingkungan atau alam sekitar secara ilmiah. Mata pelajaran Fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar, baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri siswa.

 

2.2  Pembelajaran IPA (Fisika) dengan Pendekatan Konstruktivisme

Konsep pembelajaran konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli psikologi dan peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas maka pengetahuan dikonstruksi secara aktif (Wood dan Seller, 1996:145; Cobb dan Wood, 1992:130). Para ahli konstruktivis yang lain mengatakan bahwa dari perspektifnya konstruktivis belajar bukanlah suatu proses “pengepakan“ pengetahuan secara hati-hati, melainkan tentang mengorganisir aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berpikir konseptual (Cobb, Wood dan Yackel, 1991:110). Didefinisikan oleh Cobb dan Wood (1992:136) bahwa belajar IPA (Fisika) merupakan proses di mana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan.

Lebih jauh lagi para ahli konstruktivis merekomendasi untuk menyediakan lingkungan belajar di mana siswa dapat mencapai konsep dasar, keterampilan, proses heuristic dan kebiasaan bekerja sama dan berefleksi. Dalam kaitannya dengan belajar Cobb dan Wood, (1992:1368) menguraikan bahwa “belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif dimana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi secara aktif di kelas”.

Confrey (1990:98), yang juga banyak bicara dalam konstruktivisme menawarkan suatu powerfull construction dalam belajar. Dalam mengkonstruksi pengertian belajar melalui pengalaman, ia mengidentifikasi 10 karakteristik dari powerfull constructions berpikir siswa. Lebih jauh ia mengatakan bahwa “powerfull construction”ditandai oleh :

1)      Sebuah struktur dengan ukuran kekonsistenan internal;

2)      Suatu keterpaduan antar bermacam-macam konsep;

3)      Suatu kekonfergenan diantara aneka bentuk dan konteks;

4)      Kemampuan untuk merefleksi dan menjelaskan;

5)      Sebuah kesinambungan sejarah;

6)      Terikat kepada bermacam-macam sistem simbol;

7)      Suatu yang cocok dengan pendapat expert (ahli);

8)      Suatu yang potensial untuk bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut;

9)      Sebagai petunjuk untuk tindakan berikutnya;

10)  Suatu kemampuan untuk menjustifikasi dan mempertahankan.

Semua ciri-ciri powerfull di atas dapat digunakan secara efektif dalam proses belajar mengajar di kelas. Menurut Confrey (1990:125), siswa-siswa yang belajar seringkali hanya menerapkan satu kriteria evaluasi mereka dari yang mereka konstruksi misalkan dengan bertanya “Apakah ini disetujui para ahli?” Atau dalam istilah konstruktivis “Apakah itu benar?” akibatnya pengetahuan yang dimiliki siswa menjadi terisolasi dari sisa pengalaman mereka yang dikonstruksi dari aksi mereka di dunia dalam pola yang spontan dan interaktif. Oleh karena itu pandangan siswa tentang ‘kebenaran’ ketika siswa belajar perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak lengkap. Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah menjustifikasi berpikirnya siswa dalam belajar. Lebih lanjut menurut konstruktivis bahwa secara substantif, belajar adalah proses pemecahan masalah. Menurut Driver (1988:235) pembelajaran yang menekankan pada pendekatan konstruktivis lebih terfokus pada “suksesnya siswa dalam mengorganisasikan pengetahuan mereka”, dan bukan pada “kebenaran siswa dalam melakukan refleksi atas apa yang dikerjakan guru”. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa pebelajar hendaknya tidak dipandang sebagai penerima pasif dari suatu pembelajaran, tetapi harus dilihat sebagai bagian yang aktif  dan bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya.

Pembelajaran di kelas menurut pandangan konstruktivis (Nickson dalam Ardana, 2000) adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip sesuai kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep/prinsip itu terbangun kembali; transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru. Sedangkan Bodner tentang konstruktivis mengatakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran pebelajar berdasarkan pengetahuan awalnya. Karena itu pengetahuan awal siswa merupakan hal yang penting dalam suatu pembelajaran.. Sehubungan dengan itu Glasson (1993 : 13) mengatakan bahwa pandangan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar secara konstruktivis adalah sebagai berikut.

Untuk mengkonstruksi pengetahuan, siswa harus mengidentifikasi, menguji pemahaman yang dimiliki, menafsirkan makna dari pengalaman yang sedang berlangsung, dan menyesuaikan dengan pengalaman-pengalamannya. Guru harus menemukan cara-cara memahami pandangan siswa, dan mengembangkan tugas-tugas yang memajukan konstruksi pengetahuan. Dengan demikian, kognitif siswa akan menjadi meningkat, yang mengakibatkan pemahaman terhadap konsep-konsep akan lebih baik.

Agar lebih spesifik, Hudojo (1998:7) mengatakan pembelajaran IPA (Fisika) menurut pandangan konstruktivis antara lain dicirikan sebagai berikut.

1)      Siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar materi IPA (Fisika) secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Siswa belajar bagaimana belajar itu.

2)      Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi (materi) kompleks terjadi.

3)      Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.

 

Sebagai implikasi dan ciri-ciri pembelajaran dengan pandangan konstruktivis terhadap pembelajaran IPA (Fisika) maka lingkungan belajar perlu diupayakan sebagai berikut.

1)      Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.

2)      Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama.

3)      Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkret.

4)      Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial

5)      Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.

6)      Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga IPA (Fisika) menjadi menarik dan siswa mau belajar.

Disamping menciptakan lingkungan belajar seperti di atas, guru perlu menyiapkan bantuan yang mungkin diperlukan siswa antara lain yang dikemukakan oleh Kloosterman dan Gainey (dalam Ardana,2000:32) sebagai berikut.

1)   Dalam mengajarkan suatu topik, mulailah pengajaran dengan bertanya kepada siswa, apa yang mereka ingat dari pengajaran sebelumnya yang terkait dengan topik itu.

2)      Bantu para siswa untuk membuat hubungan antar ide-ide.

3)      Bantu para siswa untuk membuat hubungan antar pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural.

4)      Dorong para siswa agar lebih banyak berpikir melalui suatu masalah daripada sekedar mengulang prosedur-prosedur yang sifatnya hafalan.

5)      Mengajar hendaknya menggunakan berbagai benda manipulatif (alat peraga)

6)      Bantu para siswa melihat hubungan antar benda-benda manipulatif, gambar-gambar dan representasi abstrak dari konsep-konsep.

7)      Dorong para siswa agar mau berbicara dengan temannya tentang IPA (Fisika)

8)      Perkenankan para siswa menghubungkan konsep-konsep IPA (Fisika) dengan caranya mereka sendiri.

Piaget dan Vygotsky (dalam Nur dan Wikandari, 2000:36) juga menekankan adanya hakikat sosial dari belajar, dan keduanya menyarankan untuk menggunakan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan pengertian atau belajar. Ide-ide konstrukivisme modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky (dalam Nur dan Wikandari, 2000:37), yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran yang berbasis kegiatan dan penemuan. Empat prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya telah memegang suatu peran penting. Pertama adalah penekanannya pada hakikat sosial dari pembelajaran. Suatu hal yang dikemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Pada proyek kooperatif, siswa dihadapkan pada proses berpikir teman sebaya mereka, metode ini tidak hanya membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa tetapi juga membuat proses berpikir siswa lain terbuka untuk seluruh siswa. Vygotsky memperhatikan bahwa pemecah masalah yang berhasil berbicara kepada diri mereka sendiri tentang langkah-langkah pemecahan masalah yang sulit. Dalam kelompok kooperatif, siswa lain dapat mendengarkan pembicaraan dalam hati ini yang diucapkan dengan keras oleh pemecah masalah dan belajar bagaimana jalan pikiran atau pendekatan yang dipakai pemecah masalah yang berhasil ini.

Zona Perkembangan Terdekat atau Zone of Proximal Development merupakan konsep kunci kedua yang menekankan bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Siswa yang sedang bekerja di dalam zona perkembangan terdekat mereka pada saat mereka terlibat dalam tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri tetapi dapat menyelesaikannya bila dibantu oleh teman sebaya mereka atau orang dewasa. Pada saat anak-anak sedang bekerja bersama, kemungkinan sekali ada tingkat prestasi atau kinerja salah seorang anggota kelompok pada suatu tugas tertentu berada pada tingkat kognitif sedikit lebih tinggi dari tingkat kinerja anak tersebut, ini berarti tugas tersebut tepat berada di dalam zona perkembangan terdekat anak tersebut.

Pemagangan Kognitif atau Cognitive Apprenticeship merupakan konsep lain yang diturunkan dari teori Vygotsky (dalam Nur dan Wikandari, 2000:38) yang menekankan hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan terdekat. Istilah ini mengacu pada proses yang mana seseorang yang sedang belajar secara tahap demi tahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar, pakar tersebut bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau teman sebaya yang telah menguasai permasalahan. Dalam banyak pekerjaan, pekerja-pekerja baru mempelajari pekerjaan mereka melalui proses pemagangan, dimana seorang pekerja baru bekerja didampingi dengan pekerja yang sudah berpengalaman, dan tahap demi tahap memperkenalkan pekerja baru itu ke dalam norma dan prilaku profesi itu. Mengajar siswa di kelas adalah suatu bentuk pemagangan. Penganut teori konstruktivis mengajukan pentranseferan model pengajaran dan pembelajaran yang efektif ini ke aktifitas sehari-hari di kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam tugas-tugas kompleks maupun membantu mereka mengatasi tugas-tugas tersebut dan melibatkan siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif heterogen di mana siswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok tersebut.

Scaffolding atau Mediated Learning menurut Vygotsky (dalam Nur dan Wikandari, 2000:40) menekankan dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran konstruktivis modern. Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistik yang kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas ini (bukan diajar sedikit demi sedikit komponen-komponen suatu tugas kompleks yang pada suatu hari diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut). Prinsip ini digunakan untuk menunjang pemberian tugas kompleks di kelas seperti proyek simulasi, penyelidikan di masyarakat, menulis untuk dipresentasikan ke pendengar yang sesungguhnya, dan tugas-tugas yang autentik yang lain.

 

2.3  Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.

Menurut Lungdren (dalam Suriasa, 2008:9) menyatakan unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut .

a.       Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama.”

b.      Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.

c.       Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.

d.      Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.

e.       Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.

f.       Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.

g.      Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

 

Beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah; (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa,  (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin,1993 dalam Suriasa, 2008:9). Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (dalam Suriasa, 2008:9), yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk belajar.

a.       Penghargaan kelompok

Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Kebelajaran kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli.

b.      Pertanggungjawaban individu

Kebelajaran kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.

 

c.       Kesempatan yang sama untuk mencapai kebelajaran

Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan hasil yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang belajar rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk belajar dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.

Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana kebelajaran individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana kebelajaran individu ditentukan atau dipengaruhi oleh kebelajaran kelompoknya (Slavin,1995 dalam Suriasa, 2008:10). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai stidaktidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (dalam Suriasa, 2008:10), yaitu sebagai berikut.

a.       Prestasi belajar akademik

Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki hasil siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan prestasi belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan prestasi belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

b.      Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

c.       Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan.

Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pembelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivasi siswa belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi; seringkali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil kerja kelompok, atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Enam tahap pembelajaran itu dirangkum pada tabel 2.1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif

Fase-fase

Tingkah Laku Guru

Fase 1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

 

Fase 2

Menyajikan informasi

 

Fase 3

Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar

 

Fase 4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

 

Fase 5

Evaluasi

 

Fase 6

Memberikan penghargaan

 

 

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar

 

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

 

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

 

 

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

 

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

 

Guru mencari cara-cara utuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu da kelompok.

 

 

2.4  Model Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)

Pelaksanaan pembelajaran memiliki tiga tingkatan sasaran antara lain: kooperatif, kompetitif, dan individualistik. Ketiga sasaran ini penting dan tetap diupayakan dalam proses pembelajaran termasuk dalam proses pembelajaran IPA (Fisika). Walaupun demikian sasaran kooperatif merupakan sasaran yang dominan dalam interaksi belajar mengajar, sedangkan sasaran kompetitif dan individualistik akan menjadi efektif bila digunakan dalam konteks kebersamaan. Banyak bentuk pembelajaran kooperatif, namun yang paling tepat digunakan untuk mengoptimalkan penyesuaian strategi pembelajaran dengan kemampuan siswa sangat beragam adalah pembelajaran kooperatif  Team Assisted Individualization  (TAI) karena model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) ini merupakan belajar secara kooperatif yang banyak menonjolkan pembelajaran dengan belajar secara individual, yang mana siswa tetap dikelompokkan tetapi siswa belajar sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing melalui proses internalisasi. Model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dikembangkan oleh Robert Slavin dan Madden. Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) sama dengan metode pembelajaran “Student Teams-Achievment Divisions” (STAD) dalam penggunaan tim belajar yang terdiri dari 4 orang dengan kemampuan heterogen. Perbedaannya adalah STAD menggunakan satu langkah pengajaran di kelas, sedangkan metode pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) merupakan pembelajaran kooperatif dengan banyak menonjolkan pengajaran secara individual (Slavin, 1990; Nur & Wikandari, 2000). Pembelajaran kooperatif  adalah suatu pembelajaran yang dibentuk dalam suatu kelompok kecil di mana siswa bekerja sama serta mengoptimalkan keterlibatan dirinya dan anggota kelompok dalam belajar. Sehubungan dengan itu Tantra (1998:13) mengatakan bahwa: “peran sebagai individu dapat dimaksimalkan dalam belajar secara kooperatif karena 1) sumbangan setiap anggota kelompok diakui, 2) siswa belajar mengintegrasikan dan mensintesiskan beraneka ragam pandangan siswa lain dalam kelompok, 3) siswa belajar memilih beberapa alternatif yang tersedia untuk mengoreksi pendapat mereka atau pendapat orang lain, 4) siswa melakukan beraneka macam tugas yang selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing namun dibantu oleh siswa lain dalam satu kelompok, dan 5) setiap anggota kelompok dapat dievaluasi berdasarkan atas kriteria sendiri”.  Dengan demikian pembelajaran secara kooperatif memungkinkan siswa belajar secara kolaboratif dengan memaksimalkan produktivitas dan prestasi belajar mereka secara individual maupun secara kelompok.

Ada lima ciri utama belajar secara kooperatif yang dikemukakan oleh  Johnson dan Holubec dalam Tantra (1998) antara lain sebagai berikut.

1)      Tujuan masing-masing kelompok adalah memaksimalkan kemampuan belajar setiap anggotanya dan bila mungkin sampai batas kemampuannya.

2)      Masing-masing anggota kelompok berusaha semaksimal mungkin untuk dapat utuh dalam satu ikatan kelompok (fanatik group)

3)      Masing-masing anggota kelompok bekerja sama saling berhadapan untuk menghasilkan prestasi akademik maupun personal bersama

4)      Setiap kelompok diajarkan keterampilan sosial untuk digunakan mengkoordinasikan upaya mereka secara bersama-sama, dan kerja kelompok sangat ditekankan.

5)      Setiap kelompok diwajibkan melakukan evaluasi diri tentang keberhasilan belajar mereka sendiri.

Sedangkan bentuk belajar secara kooperatif yang dikemukakan oleh Slavin (1990) adalah sebagai berikut.

1)      Divisi Tim Siswa Berprestasi. Siswa belajar sebagai sebuah tim dan memberi kontribusi kepada anggota tim lainnya untuk dapat berprestasi optimal. Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerja, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja di dalam tim mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu, pada waktu kuis ini mereka tidak dapat saling membantu.

2)      Tim Turnamen Bermain. Hampir sama seperti divisi tim siswa berprestasi, namun soal mingguan diganti dengan pertandingan antar anggota dalam kelompok. Umumnya anggota kelompok ini bersifat homogen dalam kemampuan. Setiap kelompok terdiri dari tiga orang anggota yang dipilih dari kelompok kemampuan beragam untuk berkompetisi memperoleh angka.

3)      Tim Individuasi Berbantuan. Pada dasarnya bentuk ini merupakan kombinasi antara belajar secara kooperatif dengan belajar secara individual. Siswa tetap dikelompokkan, tetapi siswa belajar sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing. Masing-masing anggota kelompok saling membantu dan mengecek.

4)      Gergaji Silang. Teknik ini mengisyaratkan setiap anggota kelompok diberi tugas berbeda dan kemudian diharapkan darinya untuk menceritakan kepada teman lainnya tentang apa yang telah dipelajari.

5)      Investigasi Kelompok. Hampir sama dengan gergaji silang, hanya saja kelompok memecahkan suatu subtopik mereka menjadi tugas-tugas individual dan melaksanakan kegiatan yang diperlukan untuk mempersiapkan laporan kelompok. Setiap kelompok kemudian membuat presentasi atau peragaan untuk mengkomunikasikan temuannya kepada seluruh kelas.

6)      Belajar Bersama. Anggota kelompok bersifat heterogen dan menyelesaikan sebuah masalah secara bersama, dan bila berhasil mereka memperoleh ganjaran positif secara kelompok. Metode ini menekankan pada kegiatan-kegiatan pembinaan kerjasama tim sebelum siswa mulai bekerja sama dan melakukan diskusi terjadwal di dalam kelompok tentang seberapa jauh mereka berhasil dalam bekerja sama.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan kerja kelompok antara lainsebagai berikut.

1)      Taraf kecerdasan anggota kelompok

2)      Hubungan antar anggota kelompok

3)      Pengenalan anggota kelompok mengenai problem yang dihadapi

4)      Motivasi anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas yang diberikan

5)      Besarnya jumlah kelompok

6)      Kemampuan pemimpin kelompok dalam memimpin anggotanya

7)      Minat, keaktifan dan keterampilan anggota dalam menyelesaikan masalah.

Beberapa kontribusi positif yang diperoleh dengan melaksanakan pembelajaran secara kooperatif antara lain :

1)      Meningkatkan hubungan antar individu

Pembelajaran kooperatif merupakan proses dimana memberikan peluang kepada siswa untuk terlibat lebih aktif, meningkatkan interaksi dalam mencapai sasaran belajar, berbagi tanggung jawab, saling mengisi dalam pemecahan masalah, yang mana proses tersebut pada gilirannya akan meningkatkan hubungan positif antar siswa.

2)      Memberikan dukungan pada interaksi sosial

Siswa lebih terdorong untuk menerima/menghargai antar sesama siswa, menambah ketekunan dalam usaha mencapai sasaran belajar, menjadi lebih tabah dan ulet, khususnya dalam menghadapi tugas-tugas serta situasi yang mendatangkan kekurang senangan/kekecewaan.

3)      Meningkatkan rasa harga diri

Rasa percaya diri terhadap kemampuannya dan kesanggupan untuk meningkatkan pencapaian akademiknya akan terbentuk pada diri siswa.

4)      Meningkatkan pencapaian/produktivitas akademik.

Dengan adanya saling keterkaitan antar anggota dalam kelompok, peningkatan pola-pola interaksi, rasa tanggung jawab, dorongan untuk kreatif, maka semua ini akan meningkatkan pencapaian/produktivitas prestasi belajarnya.

 

Sedangkan pelaksanaan Model pembelajaran Team Assisted Individualization  (TAI) dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1)      Membagi siswa ke dalam kelompok masing-masing terdiri dari 4 anggota dengan kemampuan beragam (baik, sedang dan kurang) dan kelompok ini berlaku untuk setiap menggunakan pembelajaran kelompok. (kelompok paten)

2)      Dalam setiap pertemuan yang berkaitan dengan topik baru dibagikan LKS yang berkaitan dengan topik bersangkutan

3)      Setelah LKS dibagikan siswa diberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam LKS dengan waktu yang telah ditetapkan. Siswa dalam tim diharapkan bekerja dalam duaan (berpasangan) namun walaupun demikian masing-masing siswa sebelumnya diharapkan bekerja secara mandiri, tetapi tidak menutup kemungkinan mereka untuk saling bertukar pikiran sesama pasangan dan anggota lain dalam kelompok dan jika mengalami hambatan guru dapat membantunya.

4)      Setelah selesai mengerjakan LKS maka setiap pasangan akan saling mencocokkan jawaban mereka dan kemudian saling mengajukan pertanyaan di antara sesama teman dalam satu tim, partner secara bergantian memegang lembar jawaban atau mencoba menjawab pertanyaan temannya.

5)      Perlu ditekankan bahwa mereka tidak boleh mengakhiri kegiatan belajar sampai mereka yakin bahwa seluruh anggota tim mereka dapat menjawab 100% benar soal-soal tersebut.

6)      Pada saat siswa bekerja dalam tim, guru berkeliling di dalam kelas untuk memberikan ganjaran kepada kelompok yang bekerja dengan baik.

7)      Setelah topik yang dibicarakan diperkirakan telah dipahami masing –masing kelompok maka diadakan pengklarifikasian jawaban antara kelompok sehingga terjadi persamaan persepsi tentang konsep yang terkandung di dalam pokok bahasan yang bersangkutan.  Dalam hal ini posisi guru tetap sebagai fasilitator.

8)      Setelah ditemukannya konsep yang terkandung dalam pokok bahasan yang dibicarakan maka sisa waktu dimanfaatkan oleh guru untuk menegaskan kembali konsep tersebut dan selanjutnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendalami konsep melaui latihan-latihan yang ada dalam LKS maupun soal dalam buku paket (fase aplikasi konsep).

Berdasarkan hal di atas, dapat diyakini bahwa pembelajaran kooperatif Team Assisted Individualization  (TAI) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

 

2.5  Prestasi Belajar IPA (Fisika)

Woodworth dan Marquis (1962 : 58) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan kemampuan aktual yang dapat diukur secara langsung dengan tes. Bloom (1971: 7) mengungkapkan, prestasi belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan menurut Nasution (2001 : 439) prestasi belajar adalah penguasaan seseorang terhadap pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata pelajaran, yang lasimnya diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan guru. Penelitian ini hanya melibatkan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa dalam ranah kognitif saja. Bloom sebagaimana dikutip  Sudjana (1995 : 22) menguraikan bahwa ranah kognitif terdiri atas: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.  Pengetahuan dan pemahaman merupakan ranah kognitif tingkat rendah dan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi merupakan ranah kognitif tingkat tinggi. Dalam hal ini hanya mencakup aspek pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi karena penelitian ini dilaksanakan pada tingkat SMP yang tingkatan ranah kognitifnya pada tingkat aplikasi.

Dari uraian di atas, tampak bahwa pengertian prestasi belajar yang diungkapkan tidak mengandung kontradiksi namun saling melengkapi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan kemampuan aktual yang dimiliki seorang siswa sebagai hasil usaha belajarnya. Kemampuan aktual tersebut dapat berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang dapat diukur tinggi rendahnya dengan jalan memberikan tugas-tugas kepada siswa yang relevan dengan sasaran yang diinginkan. Hasil yang diperoleh siswa dalam suatu mata pelajaran dinyatakan dalam bentuk nilai yang disebut prestasi belajar.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu sendiri. Suryabrata (1993 : 250-254), Sudjana (2000 : 34-42), dan Purwanto (2000 : 106-107) mengungkapkan, faktor-faktor tersebut adalah faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar terdiri atas lingkungan, meliputi: lingkungan alami dan lingkungan sosial, dan instrumental: meliputi: kurikulum, program, sarana, dan guru. Faktor dalam terdiri atas faktor fisiologis, meliputi: kondisi fisik secara umum dan kondisi pancaindera, dan faktor psikologis, meliputi: minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampuan kognitif. Sofyatiningrum (2001 : 342) mengungkapkan, salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor sekolah, yang mencakup metode mengajar. Agar prestasi belajar dapat optimal, maka guru harus dapat menentukan dan memilih metode mengajar yang tepat dan mengelolanya dengan baik. Melengkapi uraian yang disampaikan Sofyatiningrum tersebut, Nasution (2001 : 39) menambahkan, salah satu faktor internal yang harus diperhatikan guru dalam mengajar adalah pengetahuan yang sudah dimiliki oleh seorang siswa sebelum ia mengikuti pelajaran berikutnya, selain kondisi pribadi siswa terutama kecerdasan dan sikapnya terhadap pelajaran yang dihadapi. Dengan demikian, prestasi belajar siswa di sekolah dipengaruhi oleh berbagai faktor dan merupakan interaksi dari faktor-faktor tersebut. Demikian halnya dengan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: bagaimana guru menyampaikan materi pelajaran,  pengetahuan yang telah dimiliki siswa, dan yang tidak sedikit kontribusinya adalah bagaimana kemampuan atau daya nalar siswa (Russeffendi, 1979 : 8). Untuk itu agar tercapai prestasi belajar dan tujuan pembelajaran yang diharapkan, maka faktor-faktor ini harus dapat dikelola dengan baik.

Untuk mengetahui prestasi belajar yang diperoleh siswa, diperlukan suatu evaluasi setelah selesai mengajarkan satu pokok bahasan atau sub pokok bahasan. Alat yang digunakan untuk melihat prestasi belajar siswa dapat menggunakan tes lisan, tes tertulis, dan tugas-tugas. Berkaitan dengan penelitian ini, prestasi belajar IPA (Fisika) siswa dilihat dari skor yang diperoleh siswa dari tes yang diberikan.

Terkait dengan penelitian ini, berikut diuraikan faktor dominan yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, yakni aktivitas belajar siswa terhadap pelajaran IPA (Fisika).

 

2.6  Hubungan Antara Model Pembelajaran TAI terhadap Prestasi Belajar  IPA (Fisika)

Sebagaimana telah diuraikan di atas, prestasi belajar IPA (Fisika) siswa merupakan tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan dalam IPA (Fisika). Prestasi merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran. Prestasi juga merupakan indikator atas tercapai tidaknya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Itu sebabnya prestasi belajar menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses pembelajaran.

Prestasi belajar IPA (Fisika) dan aktivitas belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: interaksi yang terjadi di dalam kelas, metode dan media yang digunakan guru, sarana prasarana yang tersedia, kemampuan siswa, dan sebagainya. Ini berarti bahwa metode pembelajaran dapat mempengaruhi aktivitas dan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa. Metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi ajar dan situasi kelas yang dihadapi memungkinkan dapat menumbuhkan aktivitas positif terhadap pelajaran yang sedang dipelajari, dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan prestasi belajar siswa.

Kemampuan siswa dalam menangkap dan menyimpan informasi sangat beragam. Informasi yang disampaikan guru ditangkap dan disimpan dengan kualitas yang tidak sama pada setiap siswa. Bahkan mungkin informasi yang disampaikan guru lewat begitu saja, meskipun informasi yang disampaikan tidak sesuai dengan informasi yang telah mereka miliki sebelumnya. Ini merupakan sumber konflik kognitif yang terjadi dan dialami siswa. Masalah seperti ini tidak tersentuh oleh metode pengajaran konvensional. Jika konflik demi konflik tidak mendapat pemecahan dengan baik, sangat mungkin dapat menumbuhkan sikap apriori siswa terhadap pelajaran IPA (Fisika). Akibatnya, prestasi belajar yang baik akan sulit tercapai.

Banyak bentuk pembelajaran kooperatif, namun yang paling tepat digunakan untuk mengoptimalkan penyesuaian metode pembelajaran dengan kemampuan siswa sangat beragam adalah pembelajaran kooperatif  Team Assisted Individualization . Metode pembelajaran ini dipilih dengan pertimbangan bahwa pada dasarnya metode pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) ini merupakan belajar secara kooperatif namun banyak menonjolkan pembelajaran dengan belajar secara individual, yang mana siswa tetap dikelompokkan tetapi siswa belajar sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing melalui proses internalisasi.. Pembelajaran kooperatif dengan model Team Assisted Individualization (TAI) lebih memungkinkan dapat meningkatkan individualitas siswa dan prestasi belajar siswa secara nyata lebih baik dibandingkan dengan belajar secara konvensional. Menurut Driver (1988) pembelajaran yang menekankan pada pendekatan konstruktivis lebih terfokus pada “suksesnya siswa dalam mengorganisasikan pengetahuan mereka”, dan bukan pada “kebenaran siswa dalam melakukan refleksi atas apa yang dikerjakan guru”. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa pebelajar hendaknya tidak dipandang sebagai penerima pasif dari suatu pembelajaran, tetapi harus dilihat sebagai bagian yang aktif  dan bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya.

Pembelajaran kooperatif  adalah suatu pembelajaran yang dibentuk dalam suatu kelompok kecil di mana siswa bekerja sama serta mengoptimalkan keterlibatan dirinya dan anggota kelompok dalam belajar. Sehubungan dengan itu Tantra (1998:13) mengatakan bahwa: “peran sebagai individu dapat dimaksimalkan dalam belajar secara kooperatif karena 1) sumbangan setiap anggota kelompok diakui, 2) siswa belajar mengintegrasikan dan mensintesiskan beraneka ragam pandangan siswa lain dalam kelompok, 3) siswa belajar memilih beberapa alternatif yang tersedia untuk pendapat mereka atau pendapat orang lain, 4) siswa melakukan beraneka macam tugas yang selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing namun dibantu oleh siswa lain dalam satu kelompok, dan 5) setiap anggota kelompok dapat dievaluasi berdasarkan atas kriteria sendiri”.  Dengan demikian pembelajaran secara kooperatif memungkinkan siswa belajar secara kolaboratif dengan memaksimalkan produktivitas dan prestasi belajar mereka secara individual maupun secara kelompok

           

2.7 Kerangka Berpikir

            Upaya yang dilakukan oleh seorang guru untuk meningkatkan prestasi belajar siswanya adalah melakukan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan secara optimal. Menerapkan berbagai model pembelajaran dalam proses belajar mengajar (PBM) adalah salah satu contoh dari tindakan tersebut. Dalam penelitian akan dicobakan suatu model pembelajaran yaitu model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI). Model ini akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada siswa dalam mengembangkan kerjasama dan tanggung jawab serta kompetisi yang positif dan meningkatkan kemampuan individualitas dalam belajar Fisika. Dengan adanya rasa kerja sama dan tanggung jawab diharapkan dapat menumbuhkan aktivitas belajar di dalam diri siswa. Aktivitas belajar ini akan memacu siswa untuk belajar lebih baik.  Dari paparan ini dapat diduga bahwa pernerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dapat meningkatkan prestasi belajar IPA (Fisika) dan aktivitas belajar siswa.

 

2.8  Hipotesis Tindakan

Berpedoman kajian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan  dari peneitian ini adalah sebagai berikut

1.      Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualizatio (TAI) dapat meningkatkan aktivitas belajar IPA (Fisika) Siswa Kelas IX G  SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009.

2.      Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dapat meningkatkan Prestasi belajar IPA (Fisika) Siswa Kelas IX G  SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009.

3.      Respon siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang terhadap penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)  adalah positif.

 

BAB III

METODE PENELITIAN

 

3.1  Seting  Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan ini adalah penelitian tindakan kelas atau class room action research yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki proses pembelajaran di sekolah pada umumnya dan dalam kelas pada khususnya. Penelitian ini dilaksanakan di kelas IX G SMP Negeri 1 Abang dari bulan  Januari 2009 sampai dengan Maret 2009. Dalam pelaksanaan tindakan digunakan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) yang dilaksanakan dalam dua siklus.

 

3.2  Subjek dan objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang pada semester II tahun ajaran 2008/2009, dengan banyak siswa 42 orang. Adapun objek penelitian ini aktivitas belajar, prestasi belajar IPA (Fisika) dan respon siswa kelas IX G  SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009

 

3.3  Prosedur Penelitian

      Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas dengan mengikuti beberapa tahapan seperti yang dikemukakan Kemmis & Taggart (1998) yaitu: 1) tahap perencanaan (planing), 2) tahap tindakan (action), 3) tahap observasi/ evaluasi (evaluation), dan 4) tahap refleksi (reflection), kemudian kembali lagi ke tahap perencanaan, tahap tindakan dan seterusnya, sehingga membentuk siklus seperti yang digambarkan pada gambar 3.1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


                 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3.1. Skema Desain Penelitian Tindakan

 

 

 

Rincian konsep yang dibahas pada setiap siklus disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 3.1 Konsep yang Dibahas pada Masing-masing Siklus

SIKLUS

KONSEP

WAKTU

I

Kemagnetan

1.    Sifat-sifat magnet

§  Kutub-kutub magnet

§  Medan Magnet

§  Bahan magnetik

§  Gejala kemagnetan

§  Pembuatan magnet

2.    Bumi sebagai magnet

§  Kompas

§  Inklinasi

§  Deklinasi

3. Tes Prestasi belajar siklus I

4 kali pertemuan

4 x 3 JP

II

 

Elektromagnetik

1.      Kemagnetan dari Kelistrikan

§  Penemuan Oersted

§  Medan magnet dari solenoida

§  Gaya magnetik pada arus listrik

§  Penerapan elektromagnetik

2.      Kelistrikan dari Kemagnetan

§  Induksi elektromagnetik

§  Generator

§  Transformator

§  Efisiensi transformator

3. Tes Prestasi belajar siklus II

 

 

4 kali pertemuan

4 x 3 JP

 

 

3.3.1 Refleksi Awal

Keadaan awal tentang aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa terhadap pelajaran IPA (Fisika) diperoleh dari wawancara dengan guru pengajar IPA (Fisika) kelas IX G SMP Negeri 1 Abang terungkap bahwa aktivitas dan prestasi belajar siswa belum optimal. Belum optimalnya aktivitas dan prestasi belajar IPA (Fisika) karena kemampuan dan aktivitas belajar siswa berbeda-beda. Berdasarkan observasi dan wawancara tersebut, ditemukan beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut.

(a)        Aktivitas belajar siswa masih relatif rendah, sebagian besar siswa bermain dalam menerima pelajaran siswa.

(b)       Siswa sering kesulitan dalam memahami konsep-konsep IPA (Fisika)

(c)        Penggunaan hanya satu metode dalam pembelajaran yaitu metode ceramah masih mendominasi dalam pembelajaran tersebut.

Berdasarkan hal ini, peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI).

 

3.3.2 Siklus I

            Dalam siklus I, dilakukan beberapa tahapan yaitu tahap perencanaan tindakan I, pelaksanaan tindakan I, observasi dan evaluasi I, serta tahap refleksi yang dilaksanakan pada akhir siklus oleh peneliti. Tujuan refleksi siklus I ini adalah untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan yang terjadi dalam tindakan sebelumnya dan memberikan masukan pada tindakan di siklus berikutnya, sehingga kelemahan dalam siklus berikutnya dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh hasil yang optimal. Masing-masing tahapan dipaparkan sebagai berikut.

 

(a)     Perencanaan Tindakan I

Untuk melaksanakan tindakan, hal-hal yang perlu dipersiapkan meliputi:

1)      Menentukan materi ajar

2)      Menyiapkan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI).

3)      Membentuk kelompok siswa yang kemampuannya bersifat heterogen berdasarkan nilai ulangan harian dengan anggota 4 sampai 5 orang.

4)      Menyiapkan instrumen penelitian berupa :

-       Rencana Pelaksanaan Pembelajaran,

-       Lembar Kerja Siswa (LKS)

-       Tes Prestasi belajar IPA (Fisika)

-       Lembar observasi aktivitas belajar siswa

 

(b)     Pelaksanaan tindakan I

Langkah-langkah yang dilaksanakan pada saat kegiatan belajar mengajar dipaparkan sebagai berikut.

Tahap pendahuluan

1)      Menginformasikan beberapa materi yang harus diingat kembali oleh siswa sebagai prasyarat dalam mempelajari materi yang akan diberikan.

2)      Menyampaikan indikator ketercapaian yang hendak dicapai.

3)      Dengan metode tanya jawab, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan stimulan untuk memotivasi siswa mengikuti pembelajaran.

Tahap inti pembelajaran

1)      Guru menyuruh siswa untuk berkumpul sesuai dengan kelompoknya pada tempat yang telah ditentukan.

2)      Guru menyeting pembelajaran sesuai dengan sintaks Team Assisted Individualization(TAI).

3)      Masing-masing siswa dibagikan LKS.

4)      Guru menjelaskan cara-cara pengisian LKS.

5)      Siswa diberi kesempatan berdiskusi dalam kelompoknya untuk membahas masalah-masalah serta menjawab soal-soal yang tertuang pada LKS.

6)      Guru berkeliling dan mengawasi siswa selama kerja kelompok berlangsung.

7)      Guru memberikan penjelasan kepada siswa yang mengalami kesulitan pada kelompok siswa yang bersangkutan.

8)      Jika banyak siswa yang mengalami kesulitan pada salah satu soal pada LKS maka guru menjelaskannya di depan kelas.

9)      Setelah waktu untuk diskusi kelompok berakhir, dilanjutkan dengan diskusi kelas.

Tahap Penutup

1)      Siswa membuat rangkuman materi dengan bantuan guru.

2)      Guru bersama siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.

3)      Guru memberikan PR.

 

(c)      Observasi dan Evaluasi I

Observasi dilakukan setiap dilaksanakannya pertemuan dengan cara melihat dan mencatat fenomena-fenomena yang terjadi baik berupa kendala-kendala atau permasalahan yang ditemui selama pelaksanaan tindakan maupun hal-hal yang positif yang terjadi pada proses pembelajaran. Evaluasi mengenai  prestasi belajar siswa dilaksanakan pada akhir siklus dengan memberikan tes prestasi belajar IPA (Fisika) siklus I, sedangkan untuk aktivitas belajar dilakukan dengan melakukan observasi terhadap siswa dengan menggunakan lembar observasi.

 

(d)     Refleksi I

Refleksi dilakukan pada akhir siklus, sebagai acuan dalam refleksi ini adalah hasil tes prestasi belajar IPA (Fisika) dan hasil observasi aktivitas belajar serta hasil wawancara kepada siswa terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam mengikuti pembelajaran. Hasil refleksi ini digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki serta menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan tindakan pada siklus berikutnya.

 

3.3.3 Siklus II

            Dalam siklus II, dilakukan beberapa tahapan yaitu tahap perencanaan tindakan II, pelaksanaan tindakan II, observasi dan evaluasi II, serta tahap refleksi yang dilaksanakan pada akhir siklus oleh peneliti. Tujuan refleksi siklus II ini adalah untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam tindakan siklus II sehingga kelemahan dalam siklus II dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh hasil yang optimal. Masing-masing tahapan disajikan sebagai berikut.

 

(a)   Perencanaan Tindakan II

Untuk melaksanakan tindakan, hal-hal yang perlu dipersiapkan meliputi:

1)      Menentukan materi ajar

2)      Menyiapkan model pembelajaran sintaks Team Assisted Individualization(TAI).

3)      Membentuk kelompok siswa yang kemampuannya bersifat heterogen berdasarkan nilai ulangan harian dengan anggota 4 sampai 5 orang.

4)      Menyiapkan instrumen penelitian berupa :

-       Rencana Pelaksanaan Pembelajaran,

-       Lembar Kerja Siswa (LKS)

-       Tes Prestasi belajar IPA (Fisika)

-       Lembar observasi aktivitas belajar siswa

 

(b)   Pelaksanaan Tindakan II

Langkah-langkah yang dilaksanakan pada saat kegiatan belajar mengajar dipaparkan sebagai berikut.

Tahap pendahuluan

1)      Menginformasikan beberapa materi yang harus diingat kembali oleh siswa sebagai prasyarat dalam mempelajari materi yang akan diberikan.

2)      Menyampaikan indikator ketercapaian yang hendak dicapai.

3)      Dengan metode tanya jawab, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan stimulan untuk memotivasi siswa mengikuti pembelajaran.

Tahap inti pembelajaran                          

1)      Guru menyuruh siswa untuk berkumpul sesuai dengan kelompoknya pada tempat yang telah ditentukan.

2)      Guru menyeting pembelajaran sesuai dengan sintaks sintaks Team Assisted Individualization (TAI).

3)      Masing-masing siswa dibagikan LKS.

4)      Guru menjelaskan cara-cara pengisian LKS.

5)      Siswa diberi kesempatan berdiskusi dalam kelompoknya untuk membahas masalah-masalah serta menjawab soal-soal yang tertuang pada LKS.

6)      Guru berkeliling dan mengawasi siswa selama kerja kelompok berlangsung.

7)      Guru memberikan penjelasan kepada siswa yang mengalami kesulitan pada kelompok siswa yang bersangkutan.

8)      Jika banyak siswa yang mengalami kesulitan pada salah satu soal pada LKS maka guru menjelaskannya di depan kelas.

9)      Setelah waktu untuk diskusi kelompok berakhir, dilanjutkan dengan diskusi kelas.

Tahap Penutup

1)      Siswa membuat rangkuman materi dengan bantuan guru.

2)      Guru bersama siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.

3)      Guru memberikan PR.

 

(c)    Observasi dan Evaluasi II

Observasi dilakukan setiap dilaksanakannya pertemuan dengan cara melihat dan mencatat fenomena-fenomena yang terjadi selama pelaksanaan tindakan proses pembelajaran. Evaluasi mengenai  prestasi belajar siswa dilaksanakan pada akhir siklus dengan memberikan tes prestasi belajar IPA (Fisika) siklus II, sedangkan untuk aktivitas belajar dilakukan dengan melakukan observasi.

 

(d)   Refleksi II

Refleksi dilakukan pada akhir siklus, sebagai acuan dalam refleksi ini adalah hasil tes prestasi belajar IPA (Fisika) siklus II dan hasil observasi aktivitas belajar siswa. Hasil refleksi ini digunakan sebagai dasar untuk membandingkan hasil siklus I dengan siklus II apakah terjadi peningkatan atau sebaliknya.

 

3.4  Teknik  Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas.

a.       Data aktivitas belajar siswa, dikumpulkan dengan lembar observasi dan diambil tiap pertemuan selama penelitian. Dalam penelitian ini,  aktivitas belajar yang dimaksud ditunjukkan oleh 5 indikator aktivitas. Masing-masing indikator dijelaskan dengan 4 deskriptor aktivitas, yang dimodifikasi dari indikator aktivitas yang dirumuskan oleh Tim Instruktur PKG (Suriasa, 2004). Adapun 5 indikator prilaku siswa yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1)      Interaksi siswa dengan guru

Untuk menilai indikator ini perlu diperhatikan deskriptor berikut.

(a)    Siswa mengajukan pertanyaan minimal satu kali pada guru terkait dengan hal yang dianggapnya belum jelas.

(b)   Siswa berusaha menjawab dengan benar pertanyaan guru.

(c)    Siswa berusaha menjawab benar pertanyaan yang dijawab salah sebelumnya.

(d)   Siswa mengemukakan pendapat pada guru.

2)      Interaksi siswa dengan siswa

Untuk menilai indikator ini perlu diperhatikan deskriptor berikut.

(a)    Siswa bertanya pada rekan-rekannya yang lebih mampu.

(b)   Siswa menjawab pertanyaan temannya.

(c)    Siswa mencoba memperbaiki kesalahan temannya saat mengerjakan soal.

(d)   Siswa memperhatikan penjelasan temannya.

3)      Kerjasama dalam kelompok

Untuk menilai indikator ini perlu diperhatikan deskriptor sebagai berikut.

(a)    Adanya pembagian tugas dalam kelompoknya.

(b)   Mengerjakan tugas kelompok dengan seksama.

(c)    Mengerjakan tugas sampai tuntas.

(d)   Saling membantu antar anggota kelompok .

4)      Aktivitas siswa dalam diskusi kelompok

Untuk menilai indikator ini perlu diperhatikan deskriptor sebagai berikut.

(a)    Siswa mengemukakan pendapat dalam diskusi.

(b)   Siswa menanggapi pendapat temannya.

(c)    Siswa berusaha untuk memberikan yang lain setiap ada pertanyaan.

(d)   Siswa berusaha memberikan contoh dengan benar dalam diskusi.

5)      Partisipasi siswa dalam menyimpulkan hasil belajar

Untuk menilai indikator ini perlu diperhatikan deskriptor sebagai berikut.

(a)    Siswa dapat menyimpulkan materi yang dibahas.

(b)   Siswa dapat memperbaiki simpulan materi yang dibahas.

(c)    Siswa dapat memperbaiki atau menambahkan simpulan dari temannya.

(d)   Mencatat ringkasan atau rangkuman yang diberikan oleh guru.

Skor yang diberikan mengikuti skala penilaian pada tabel berikut.

Tabel 3.2 Skala Penilaian Aktivitas Belajar

Skala penilaian

Deskriptor

5

Semua deskriptor tampak

4

Tiga deskriptor tampak

3

Dua deskriptor tampak

2

Satu deskriptor tampak

1

Tidak ada deskriptor tampak

 

b.       Data prestasi belajar IPA (Fisika). Data ini dikumpulkan dengan menggunakan tes prestasi belajar IPA (Fisika). Tes ini dalam bentuk soal essay.

c.       Data mengenai respon siswa, yang dikumpulkan dengan angket respon pada akhir penelitian. Untuk mengetahui respon siswa mengenai proses pembelajaran digunakan angket atau kuisioner. Angket yang digunakan yaitu model skala Likert dengan pilihan sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (RR), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS). Untuk pernyataan yang positif, masing-masing pilihan pada setiap item diberi skor yaitu : SS = 5 ; S = 4 ; RR = 3 ; TS = 2 ; STS = 1. Sedangkan untuk pernyataan yang negatif, masing-masing pilihan pada setiap item diberi skor yaitu : SS = 1 ; S = 2 ; RR = 3 ; TS = 4 ; STS = 5.

 

3.5  Analisis Data

1.      Data Aktivitas Belajar Belajar Siswa

Analisis terhadap aktivitas belajar siswa dilakukan secara deskriptif. Untuk mengetahui kualitas aktivitas belajar siswa dalam proses pembelajaran, maka data hasil observasi berupa skor disesuaikan dengan deskriptor yang tampak. Skor yang diberikan mengikuti skala penilaian pada tabel 3.2. Data yang diperoleh dari hasil observasi yang berupa skor diolah dengan rumus:

           

            (n1 x 1) + (n2 x 2) + (n3x 3) +(n4 x 4) +(n5 x 5)

Skor () =    

(banyaknya siswa) x (banyaknya item)

 

Keterangan:

ni = banyaknya siswa yang mendapat skor ke-i (untuk i = 1,2,3,4,5).

 

Untuk memperoleh gambaran aktivitas siswa secara klasikal, analisis didasarkan pada rata-rata skor aktivitas belajar siswa (), Mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (SDI). Rumus untuk MI dan SDI adalah:

MI  = ½ (skor tertinggi + skor terendah)

SDI = 1/6 ( skor tertinggi ideal – skor terendah ideal)

Kemudian hasilnya dikonversikan dengan pedoman kualifikasi aktivitas belajar siswa seperti pada tabel 3.3.

 

Tabel 3.3 Pedoman Konversi Kualifikasi Aktivitas Belajar Siswa

Skor

Kualifikasi

 ³ MI + 1,5 SDI                                  ³ 4,005                                         

Sangat Aktif

MI + 0,5 SDI £  < MI + 1,5 SDI       3,335 £  <4,005 

Aktif

MI – 0,5 SDI £  < MI + 0,5 SDI       2,665 £  <3,335

Cukup Aktif

MI–1,5SDI £ < MI – 0,5 SDI           1,995 £ < 2,665

Kurang Aktif

 < MI – 1,5 SDI                                  < 1,995                                          

Sangat Kurang Aktif

 

Kriteria keberhasilan penelitian yaitu bila kualifikasi aktivitas belajar siswa berada pada kualifikasi aktif.

 

2.      Data Prestasi belajar IPA (Fisika)

      Prestasi belajar IPA (Fisika) dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menentukan nilai rata-rata prestasi belajar (mean) dengan rumus sebagai berikut.

 


 =

 

Keterangan:

             M        = Rata-rata penguasaan konsep

X         = Nilai tes prestasi belajar siswa

N         = Banyaknya siswa

(Nurkancana, Sunartana, 1990:173)

Kualifikasi prestasi belajar IPA (Fisika) ditentukan dengan kriteria berikut.

Tabel 3.4 Pedoman Konversi Kualifikasi Prestasi Belajar

Skor

Kualifikai

85           M            100

Sangat Baik

70           M      <      85

Baik

55           M      <      70

Cukup

40           M      <      55

Kurang

0           M      <      40

Sangat Kurang

(STKIP Singaraja,1999:28)

           

Kriteria keberhasilan nilai rata-rata prestasi belajar IPA (Fisika) kelas sekurang-kurangnya 65 sesuai dengan tuntutan kurikulum serta daya serap dan ketuntasan belajar siswa  dengan rumus sebagai berikut.

 


DS = M x 10%

 


KB =

 

Keterangan :                                            

DS       = Daya Serap

                        M         = Nilai rata-rata penguasaan konsep              

KB      = Ketuntasan Belajar

N         = Banyaknya Siswa

Daya serap dan ketuntasan belajar yang dicapai diharapkan memenuhi tuntutan kurikulum yaitu Daya Serap (DS) ³ 65% dan Ketuntasan Belajar (KB) ³ 85% (Depdikbud, 1993).

 

3. Data Respon Siswa

Analisis terhadap respon siswa dilakukan secara deskriptif. Kriteria penggolongan respon siswa disusun berdasarkan mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (SDI). Rumus MI dan SDI adalah :

              MI = ½ (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal)

              SDI = 1/6 (skor tertinggi ideal – skor terendah ideal)

                                                                                  (Nurkancana, Sunartana, 1990)

Respon siswa ditentukan dengan menghitung rata-rata respon siswa untuk kemudian dikategorikan dengan pedoman berikut.

Tabel 3.5 Pedoman Konversi Kualifikasi Respon Siswa

Skor

Kualifikasi

R ³ MI + 1,5 SDI                                         R ³ 48

Sangat Positif

MI + 0,5 SDI £ R < MI + 1,5 SDI               40 £ R <48

Positif

MI – 0,5 SDI £ R < MI + 0,5 SDI               32 £ R <40

Cukup Positif

MI – 1,5 SDI £ R< MI – 0,5 SDI                 24 £ R< 32

Kurang Positif

R < MI – 1,5 SDI                                           R < 24

Sangat Kurang Positif

 

Untuk respon siswa digunakan angket yang terdiri dari 12 item. Tiap item memiliki skor maksimum 5 dan skor minimum 1, dengan demikian skor tertinggi dan sekor terendah adalah 60 dan 12. Sehingga dapat dihitung mean ideal (MI) dan standar deviasi (SDI) yaitu:

MI  = 1/2 (60 + 12) = 1/2 . 72 = 36

SDI = 1/6 (60 – 12) = 1/6 . 48 = 8

Sehingga nilai di atas dapat dikompersikan pada tabel 3.5.

Untuk skor rata-rata respon siswa digunakan rumus :

 


                 

 

Keterangan :

      R         = skor rata-rata respon siswa 

      X         = skor respon siswa

      N         = banyaknya siswa

Kriteria keberhasilannya jika respon siwa mencapai kualifikasi positif.

 

 

 


Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar