Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar IPA (Fisika) Siswa Kelas IX G SMPN 1 Abang
ABSTRAK
Tabel 1.
Rata-Rata Nilai Ujian Akhir IPA
Mata Pelajaran |
2004/2005 |
2005/2006 |
2006/2007 |
2007/2008 |
IPA |
5,45 |
6,30 |
6,43 |
6,33 |
(Daftar Nilai Ujian Akhir
SMP Negeri 1 Abang)
Di samping itu aktivitas belajar siswa sangat rendah. Aktivitas belajar
sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar karena aktivitas belajar tinggi maka
perolehan prestasi belajar IPA lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang
memiliki aktivitas belajar rendah. Jadi, faktor dominan yang mempengaruhi
prestasi belajar siswa adalah aktivitas belajar siswa terhadap pelajaran yang
sedang dipelajari. Sehubungan dengan aktivitas belajar siswa terhadap pelajaran
yang dipelajari dan hubungannya dengan prestasi belajar yang dicapai, Ainly
(1990:10) mengungkapkan bahwa prestasi belajar tidak hanya ditentukan oleh
perangkat keras dan perangkat lunak, tetapi juga oleh aktivitas orang untuk
belajar. Oleh karenanya, aktivitas siswa terhadap pelajaran yang sedang
dipelajari perlu dibina agar siswa menyadari mengenai sikapnya sehingga mampu
mengadakan perbaikan-perbaikan yang dianggap positif demi meningkatkan prestasi
belajarnya.
Prestasi belajar IPA (Fisika) dan
aktivitas belajar di kelas IX G SMP Negeri 1 Abang sangat rendah. Berdasarkan
hasil observasi di kelas IX G SMP Negeri 1 Abang menunjukkan bahwa guru yang
mengajar di kelas IX G merasa belum
terampil dalam melaksanakan pembelajaran IPA (Fisika) secara bermakna, guru
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan strategi pembelajaran dengan kemampuan
siswa yang beragam, dan pembelajaran yang dilakukan cenderung bersifat konvensional.
Di samping itu hasil wawancara dengan guru pengajar menunjukkan bahwa: 1) guru
belum menerapkan teori belajar dalam pembelajarannya, padahal keberhasilan
pembelajaran IPA (Fisika) sangat besar ditentukan oleh penerapan teori
belajarnya, 2) guru mengalami kesulitan dalam menyesuaikan strategi
pembelajarannya dengan kemampuan siswa yang beragam. Semua yang dikemukakan
oleh guru pengajar di atas pada dasarnya merupakan penyebab prestasi belajar IPA
(Fisika) siswa belum optimal, 3) aktivitas belajar siswa di kelas IX G masih
relatif rendah, sebagian besar siswa beranggapan bahwa Fisika adalah pelajaran
sulit, banyak rumus sehingga membosankan sehingga banyak siswa yang bercanda
dan kurang merespon apa yang disajikan guru selama pembelajaran berlangsung.
Siswa sering mengalami kesulitan dalam memahami konsep, ini merupakan dampak
dari pembelajaran konvensional yang lebih menekankan pada pengahafalan materi-materi
atau contoh-contoh yang diberikan oleh guru tanpa terjadi pembentukan konsep
yang benar dalam struktur kognitif siswa. Keadaan seperti ini membuat siswa
mengalami kesulitan dalam memahami konsep sehingga berisiko tinggi terjadinya
miskonsepsi.
1.5 Batasan
Masalah
Ruang lingkup permasalahan yang
dimaksud adalah pembatasan masalah untuk memperjelas ruang lingkup penelitian
yang akan dilaksanakan. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut. Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian tindakan kelas
yang bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki proses pembelajaran di kelas.
Penelitian ini menggunakan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) yang dilaksanakan dalam dua
siklus. Subyek penelitian adalah siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang tahun
pelajaran 2008/2009 dengan mengambil obyek penelitian adalah aktivitas belajar,
prestasi belajar IPA (Fisika) dan respon siswa siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Hakikat Pendidikan Sains
(IPA)
Pendidikan Sains (IPA)
merupakan salah satu aspek pendidikan menggunakan Sains (IPA) sebagai alat
untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya dan pendidikan Fisika pada
khususnya. Salah satu sasaran yang dapat dicapai melalui pendidikan Sains (IPA)
adalah pengertian Sains (IPA) itu sendiri (Amien,1987) dalam (Kusmono, 2002:10).
Untuk mendefinisikan Sains (IPA) secara ringkas dan sederhana dan dapat
diterima secara universal tidaklah mudah. Sains (IPA) pada hakekatnya mencakup
dua dimensi yaitu sains sebagai produk dan sains sebagai proses. Sains
merupakan kumpulan pengetahuan yang meliputi fakta-fakta, konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan teori-teori yang disebut produk sains, dan sains sebagai
keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan disebut proses sains (Sadia, 2001: 12).
Menurut Djojonegoro (dalam
Rideng, 1996:4) Sains (IPA) sebagai proses merupakan “ sistem berpikir dan cara
kita memandang dunia, memahaminya dan mengendalikannya”. Belajar Sains (IPA)
bagi pelajar tidak lagi sebagai penerimaan informasi tentang Sains tetapi
merupakan suatu proses pengembangan keterampilan berpikir tentang sains. Tujuan
utama pendidikan sains (IPA), khususnya Fisika adalah mengembangkan individu-individu
yang literasi sains. Literasi sains ini meliputi pengetahuan tentang usaha
ilmiah dan aspek-aspek fundamental tentang Sains (IPA), yaitu konsep dan
prinsip ilmiah, hukum-hukum dan teori ilmiah, serta keterampilan inkuari
(Sadia, 1997:18). Penguasaan sains sangat esensial dalam membentuk manusia yang
literasi sains, teknologi dan lingkungan. Individu yang literasi sains memiliki
kemampuan untuk menggunakan aspek-aspek sains dalam memecahkan masalah-masalah
pada kehidupan sehari-hari khususnya yang berkaitan dengan lingkungan dan mampu
mengambil keputusan bagi kepentingan umum maupun personal. Esensi sains adalah
kegunaannya sebagai alat penemuan pengetahuan dengan jalan observasi,
eksperimen, dan pemecahan masalah.
Sains (IPA) berkaitan dengan
cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya
penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau
prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan
sains di sekolah menengah diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih
lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selama ini, tampaknya
pengajaran Sains (IPA) khususnya Fisika di sekolah memberikan tekanan yang jauh
lebih besar terhadap sains sebagai produk daripada sains sebagai proses.
Pendidikan sains (IPA) pada hakekatnya tidak hanya digunakan untuk membekali
peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga dapat
digunakan sebagai wahana klarifikasi nilai serta mampu memelihara lingkungan
dari kerusakan-kerusakannya, yang selama ini kurang mendapat perhatian para
guru IPA khususnya Fisika (Sadia, 1998:10). Oleh sebab itu, pendidikan Sains
hendaknya ditekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan
kompetensi siswa agar mampu menjelajahi dan memahami lingkungan atau alam
sekitar secara ilmiah. Mata pelajaran Fisika merupakan salah satu mata
pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan
deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam
sekitar, baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta dapat mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri siswa.
2.2 Pembelajaran IPA (Fisika) dengan Pendekatan
Konstruktivisme
Konsep pembelajaran
konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli psikologi dan peneliti
yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme mengatakan bahwa
ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas maka pengetahuan
dikonstruksi secara aktif (Wood dan Seller, 1996:145; Cobb dan Wood, 1992:130).
Para ahli konstruktivis yang lain mengatakan bahwa dari perspektifnya
konstruktivis belajar bukanlah suatu proses “pengepakan“ pengetahuan secara
hati-hati, melainkan tentang mengorganisir aktivitas, di mana kegiatan ini
diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berpikir konseptual (Cobb,
Wood dan Yackel, 1991:110). Didefinisikan oleh Cobb dan Wood (1992:136) bahwa
belajar IPA (Fisika) merupakan proses di mana siswa secara aktif mengkonstruksi
pengetahuan.
Lebih jauh lagi para ahli
konstruktivis merekomendasi untuk menyediakan lingkungan belajar di mana siswa
dapat mencapai konsep dasar, keterampilan, proses heuristic dan kebiasaan bekerja sama dan berefleksi. Dalam
kaitannya dengan belajar Cobb dan Wood, (1992:1368) menguraikan bahwa “belajar
dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif dimana siswa mencoba untuk
menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi secara aktif
di kelas”.
Confrey (1990:98), yang juga
banyak bicara dalam konstruktivisme menawarkan suatu powerfull construction
dalam belajar. Dalam mengkonstruksi pengertian belajar melalui pengalaman, ia
mengidentifikasi 10 karakteristik dari powerfull
constructions berpikir siswa. Lebih jauh ia mengatakan bahwa “powerfull
construction”ditandai oleh :
1) Sebuah
struktur dengan ukuran kekonsistenan internal;
2) Suatu
keterpaduan antar bermacam-macam konsep;
3) Suatu
kekonfergenan diantara aneka bentuk dan konteks;
4) Kemampuan
untuk merefleksi dan menjelaskan;
5) Sebuah
kesinambungan sejarah;
6) Terikat
kepada bermacam-macam sistem simbol;
7) Suatu
yang cocok dengan pendapat expert (ahli);
8) Suatu
yang potensial untuk bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut;
9) Sebagai
petunjuk untuk tindakan berikutnya;
10) Suatu
kemampuan untuk menjustifikasi dan mempertahankan.
Semua ciri-ciri powerfull di atas dapat digunakan secara
efektif dalam proses belajar mengajar di kelas. Menurut Confrey (1990:125),
siswa-siswa yang belajar seringkali hanya menerapkan satu kriteria evaluasi
mereka dari yang mereka konstruksi misalkan dengan bertanya “Apakah ini
disetujui para ahli?” Atau dalam istilah konstruktivis “Apakah itu benar?”
akibatnya pengetahuan yang dimiliki siswa menjadi terisolasi dari sisa pengalaman
mereka yang dikonstruksi dari aksi mereka di dunia dalam pola yang spontan dan
interaktif. Oleh karena itu pandangan siswa tentang ‘kebenaran’ ketika siswa
belajar perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak lengkap.
Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah menjustifikasi
berpikirnya siswa dalam belajar. Lebih lanjut menurut konstruktivis bahwa
secara substantif, belajar adalah proses pemecahan masalah. Menurut Driver (1988:235)
pembelajaran yang menekankan pada pendekatan konstruktivis lebih terfokus pada
“suksesnya siswa dalam mengorganisasikan pengetahuan mereka”, dan bukan pada
“kebenaran siswa dalam melakukan refleksi atas apa yang dikerjakan guru”.
Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa pebelajar hendaknya tidak dipandang
sebagai penerima pasif dari suatu pembelajaran, tetapi harus dilihat sebagai
bagian yang aktif dan bertanggung jawab
atas pembelajaran dirinya.
Pembelajaran di kelas menurut pandangan konstruktivis
(Nickson dalam Ardana, 2000) adalah membantu siswa untuk membangun
konsep-konsep/prinsip-prinsip sesuai kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi sehingga konsep/prinsip itu terbangun kembali; transformasi
informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru. Sedangkan Bodner tentang
konstruktivis mengatakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran pebelajar
berdasarkan pengetahuan awalnya. Karena itu pengetahuan awal siswa merupakan
hal yang penting dalam suatu pembelajaran.. Sehubungan dengan itu Glasson (1993
: 13) mengatakan bahwa pandangan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar
secara konstruktivis adalah sebagai berikut.
Untuk mengkonstruksi
pengetahuan, siswa harus mengidentifikasi, menguji pemahaman yang dimiliki,
menafsirkan makna dari pengalaman yang sedang berlangsung, dan menyesuaikan
dengan pengalaman-pengalamannya. Guru harus menemukan cara-cara memahami
pandangan siswa, dan mengembangkan tugas-tugas yang memajukan konstruksi
pengetahuan. Dengan demikian, kognitif siswa akan menjadi meningkat, yang
mengakibatkan pemahaman terhadap konsep-konsep akan lebih baik.
Agar lebih spesifik, Hudojo (1998:7) mengatakan
pembelajaran IPA (Fisika) menurut pandangan konstruktivis antara lain dicirikan
sebagai berikut.
1) Siswa terlibat aktif dalam
belajarnya. Siswa belajar materi IPA (Fisika) secara bermakna dengan bekerja
dan berpikir. Siswa belajar bagaimana belajar itu.
2) Informasi baru harus dikaitkan
dengan informasi lain sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa agar
pemahaman terhadap informasi (materi) kompleks terjadi.
3) Orientasi pembelajaran adalah
investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Sebagai implikasi dan ciri-ciri pembelajaran dengan
pandangan konstruktivis terhadap pembelajaran IPA (Fisika) maka lingkungan
belajar perlu diupayakan sebagai berikut.
1) Menyediakan pengalaman belajar
dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa
sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
2) Menyediakan berbagai alternatif
pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama.
3) Mengintegrasikan pembelajaran
dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkret.
4) Mengintegrasikan pembelajaran
sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial
5) Memanfaatkan berbagai media
termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih
efektif.
6) Melibatkan siswa secara
emosional dan sosial sehingga IPA (Fisika) menjadi menarik dan siswa mau
belajar.
Disamping menciptakan lingkungan belajar seperti di
atas, guru perlu menyiapkan bantuan yang mungkin diperlukan siswa antara lain
yang dikemukakan oleh Kloosterman dan Gainey (dalam Ardana,2000:32) sebagai
berikut.
1) Dalam mengajarkan suatu topik, mulailah pengajaran dengan bertanya
kepada siswa, apa yang mereka ingat dari pengajaran sebelumnya yang terkait
dengan topik itu.
2)
Bantu para siswa untuk membuat hubungan antar ide-ide.
3)
Bantu para siswa untuk membuat hubungan antar pengetahuan konseptual
dan pengetahuan prosedural.
4)
Dorong para siswa agar lebih banyak berpikir melalui suatu masalah daripada
sekedar mengulang prosedur-prosedur yang sifatnya hafalan.
5)
Mengajar hendaknya menggunakan berbagai benda manipulatif (alat peraga)
6)
Bantu para siswa melihat hubungan antar benda-benda manipulatif,
gambar-gambar dan representasi abstrak dari konsep-konsep.
7)
Dorong para siswa agar mau berbicara dengan temannya tentang IPA
(Fisika)
8)
Perkenankan para siswa menghubungkan konsep-konsep IPA (Fisika) dengan
caranya mereka sendiri.
Piaget dan Vygotsky (dalam Nur dan Wikandari, 2000:36)
juga menekankan adanya hakikat sosial dari belajar, dan keduanya menyarankan
untuk menggunakan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggota kelompok
yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan pengertian atau belajar. Ide-ide
konstrukivisme modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky (dalam Nur dan
Wikandari, 2000:37), yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran
yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran yang berbasis
kegiatan dan penemuan. Empat prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya telah memegang
suatu peran penting. Pertama adalah penekanannya pada hakikat sosial dari
pembelajaran. Suatu hal yang dikemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi
dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Pada proyek kooperatif,
siswa dihadapkan pada proses berpikir teman sebaya mereka, metode ini tidak
hanya membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa tetapi juga membuat
proses berpikir siswa lain terbuka untuk seluruh siswa. Vygotsky memperhatikan
bahwa pemecah masalah yang berhasil berbicara kepada diri mereka sendiri
tentang langkah-langkah pemecahan masalah yang sulit. Dalam kelompok
kooperatif, siswa lain dapat mendengarkan pembicaraan dalam hati ini yang
diucapkan dengan keras oleh pemecah masalah dan belajar bagaimana jalan pikiran
atau pendekatan yang dipakai pemecah masalah yang berhasil ini.
Zona Perkembangan Terdekat atau Zone of Proximal Development merupakan konsep kunci kedua yang
menekankan bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada
dalam zona perkembangan terdekat mereka. Siswa yang sedang bekerja di dalam
zona perkembangan terdekat mereka pada saat mereka terlibat dalam tugas-tugas
yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri tetapi dapat menyelesaikannya bila
dibantu oleh teman sebaya mereka atau orang dewasa. Pada saat anak-anak sedang
bekerja bersama, kemungkinan sekali ada tingkat prestasi atau kinerja salah
seorang anggota kelompok pada suatu tugas tertentu berada pada tingkat kognitif
sedikit lebih tinggi dari tingkat kinerja anak tersebut, ini berarti tugas
tersebut tepat berada di dalam zona perkembangan terdekat anak tersebut.
Pemagangan Kognitif atau Cognitive Apprenticeship merupakan konsep lain yang diturunkan dari
teori Vygotsky (dalam Nur dan Wikandari, 2000:38) yang menekankan hakikat
sosial dari belajar dan zona perkembangan terdekat. Istilah ini mengacu pada
proses yang mana seseorang yang sedang belajar secara tahap demi tahap
memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar, pakar tersebut
bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau teman sebaya yang telah
menguasai permasalahan. Dalam banyak pekerjaan, pekerja-pekerja baru
mempelajari pekerjaan mereka melalui proses pemagangan, dimana seorang pekerja
baru bekerja didampingi dengan pekerja yang sudah berpengalaman, dan tahap demi
tahap memperkenalkan pekerja baru itu ke dalam norma dan prilaku profesi itu.
Mengajar siswa di kelas adalah suatu bentuk pemagangan. Penganut teori
konstruktivis mengajukan pentranseferan model pengajaran dan pembelajaran yang
efektif ini ke aktifitas sehari-hari di kelas, baik dengan cara melibatkan
siswa dalam tugas-tugas kompleks maupun membantu mereka mengatasi tugas-tugas
tersebut dan melibatkan siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif heterogen
di mana siswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok
tersebut.
Scaffolding atau Mediated Learning menurut Vygotsky (dalam Nur dan Wikandari, 2000:40)
menekankan dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah
sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran konstruktivis modern. Penafsiran
terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas
kompleks, sulit, dan realistik yang kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk
menyelesaikan tugas-tugas ini (bukan diajar sedikit demi sedikit komponen-komponen
suatu tugas kompleks yang pada suatu hari diharapkan akan terwujud menjadi
suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut). Prinsip ini
digunakan untuk menunjang pemberian tugas kompleks di kelas seperti proyek
simulasi, penyelidikan di masyarakat, menulis untuk dipresentasikan ke
pendengar yang sesungguhnya, dan tugas-tugas yang autentik yang lain.
2.3 Model
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami
materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum
selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Lungdren (dalam Suriasa, 2008:9) menyatakan unsur-unsur dasar dalam
pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut .
a.
Para siswa
harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama.”
b.
Para siswa
harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam
kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari
materi yang dihadapi.
c.
Para siswa
harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
d.
Para siswa
membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.
e.
Para siswa
diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap
evaluasi kelompok.
f.
Para siswa
berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama
selama belajar.
g.
Setiap siswa
akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani
dalam kelompok kooperatif.
Beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah; (a) setiap anggota
memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab
atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu
mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, (e) guru hanya
berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin,1993 dalam Suriasa, 2008:9).
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif
sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (dalam Suriasa, 2008:9), yaitu penghargaan
kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk belajar.
a.
Penghargaan
kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh
penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai
skor di atas kriteria yang ditentukan. Kebelajaran kelompok didasarkan pada
penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar
personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli.
b.
Pertanggungjawaban
individu
Kebelajaran kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua
anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas
anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban
secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan
tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.
c.
Kesempatan
yang sama untuk mencapai kebelajaran
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai
perkembangan berdasarkan peningkatan hasil yang diperoleh siswa dari yang
terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang belajar
rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk belajar dan
melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang
menerapkan sistem kompetisi, di mana kebelajaran individu diorientasikan pada
kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah
menciptakan situasi di mana kebelajaran individu ditentukan atau dipengaruhi
oleh kebelajaran kelompoknya (Slavin,1995 dalam Suriasa, 2008:10). Model
pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai stidaktidaknya tiga tujuan
pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (dalam Suriasa,
2008:10), yaitu sebagai berikut.
a.
Prestasi
belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga
memperbaiki hasil siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa
ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami
konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model
struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada
belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan prestasi belajar.
Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan prestasi belajar,
pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah
maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b.
Penerimaan
terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas
dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan,
dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari
berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada
tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar
saling menghargai satu sama lain.
c.
Pengembangan
keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan
sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih
kurang dalam keterampilan sosial.
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi
siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut
keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk
melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun
dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan.
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pembelajaran yang
menggunakan pembelajaran kooperatif. Pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan
tujuan pelajaran dan memotivasi siswa belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian
informasi; seringkali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya
siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru
pada saat siswa bekerja bersama menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase
terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil kerja kelompok, atau
evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan
terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Enam tahap pembelajaran itu
dirangkum pada tabel 2.1.
Tabel
2.1 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif
Fase-fase |
Tingkah Laku Guru |
Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Fase 2 Menyajikan informasi Fase 3 Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar Fase 4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Fase 5 Evaluasi Fase 6 Memberikan penghargaan |
Guru
menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut
dan memotivasi siswa belajar Guru menyajikan
informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. Guru menjelaskan
kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap
kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Guru membimbing
kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Guru
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau
masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Guru mencari
cara-cara utuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu da
kelompok. |
2.4 Model Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)
Pelaksanaan pembelajaran memiliki tiga tingkatan sasaran
antara lain: kooperatif, kompetitif, dan individualistik. Ketiga sasaran ini
penting dan tetap diupayakan dalam proses pembelajaran termasuk dalam proses
pembelajaran IPA (Fisika). Walaupun demikian sasaran kooperatif merupakan
sasaran yang dominan dalam interaksi belajar mengajar, sedangkan sasaran
kompetitif dan individualistik akan menjadi efektif bila digunakan dalam konteks
kebersamaan. Banyak bentuk pembelajaran kooperatif, namun yang paling tepat
digunakan untuk mengoptimalkan penyesuaian strategi pembelajaran dengan
kemampuan siswa sangat beragam adalah pembelajaran kooperatif Team
Assisted Individualization (TAI) karena
model pembelajaran Team Assisted
Individualization (TAI) ini merupakan belajar secara kooperatif yang banyak
menonjolkan pembelajaran dengan belajar secara individual, yang mana siswa
tetap dikelompokkan tetapi siswa belajar sesuai dengan kecepatan dan kemampuan
masing-masing melalui proses internalisasi. Model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)
dikembangkan oleh Robert Slavin dan Madden. Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) sama dengan metode
pembelajaran “Student Teams-Achievment Divisions” (STAD) dalam penggunaan tim
belajar yang terdiri dari 4 orang dengan kemampuan heterogen. Perbedaannya
adalah STAD menggunakan satu langkah pengajaran di kelas, sedangkan metode
pembelajaran Team Assisted
Individualization (TAI) merupakan pembelajaran kooperatif dengan banyak
menonjolkan pengajaran secara individual (Slavin, 1990; Nur & Wikandari,
2000). Pembelajaran kooperatif adalah
suatu pembelajaran yang dibentuk dalam suatu kelompok kecil di mana siswa
bekerja sama serta mengoptimalkan keterlibatan dirinya dan anggota kelompok
dalam belajar. Sehubungan dengan itu Tantra (1998:13) mengatakan bahwa: “peran
sebagai individu dapat dimaksimalkan dalam belajar secara kooperatif karena 1)
sumbangan setiap anggota kelompok diakui, 2) siswa belajar mengintegrasikan dan
mensintesiskan beraneka ragam pandangan siswa lain dalam kelompok, 3) siswa
belajar memilih beberapa alternatif yang tersedia untuk mengoreksi pendapat
mereka atau pendapat orang lain, 4) siswa melakukan beraneka macam tugas yang
selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing namun dibantu oleh siswa lain
dalam satu kelompok, dan 5) setiap anggota kelompok dapat dievaluasi
berdasarkan atas kriteria sendiri”.
Dengan demikian pembelajaran secara kooperatif memungkinkan siswa belajar
secara kolaboratif dengan memaksimalkan produktivitas dan prestasi belajar
mereka secara individual maupun secara kelompok.
Ada lima ciri utama belajar secara kooperatif yang
dikemukakan oleh Johnson dan Holubec
dalam Tantra (1998) antara lain sebagai berikut.
1)
Tujuan masing-masing kelompok adalah memaksimalkan kemampuan belajar
setiap anggotanya dan bila mungkin sampai batas kemampuannya.
2)
Masing-masing anggota kelompok berusaha semaksimal mungkin untuk dapat
utuh dalam satu ikatan kelompok (fanatik group)
3)
Masing-masing anggota kelompok bekerja sama saling berhadapan untuk
menghasilkan prestasi akademik maupun personal bersama
4)
Setiap kelompok diajarkan keterampilan sosial untuk digunakan
mengkoordinasikan upaya mereka secara bersama-sama, dan kerja kelompok sangat
ditekankan.
5)
Setiap kelompok diwajibkan melakukan evaluasi diri tentang keberhasilan
belajar mereka sendiri.
Sedangkan
bentuk belajar secara kooperatif yang dikemukakan oleh Slavin (1990) adalah
sebagai berikut.
1) Divisi Tim Siswa Berprestasi. Siswa belajar sebagai sebuah
tim dan memberi kontribusi kepada anggota tim lainnya untuk dapat berprestasi
optimal. Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang
merupakan campuran menurut tingkat kinerja, jenis kelamin, dan suku. Guru
menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja di dalam tim mereka untuk
memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.
Akhirnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu, pada waktu kuis ini
mereka tidak dapat saling membantu.
2) Tim Turnamen Bermain. Hampir sama seperti divisi tim
siswa berprestasi, namun soal mingguan diganti dengan pertandingan antar
anggota dalam kelompok. Umumnya anggota kelompok ini bersifat homogen dalam
kemampuan. Setiap kelompok terdiri dari tiga orang anggota yang dipilih dari
kelompok kemampuan beragam untuk berkompetisi memperoleh angka.
3) Tim Individuasi Berbantuan. Pada dasarnya bentuk ini
merupakan kombinasi antara belajar secara kooperatif dengan belajar secara
individual. Siswa tetap dikelompokkan, tetapi siswa belajar sesuai dengan
kecepatan dan kemampuan masing-masing. Masing-masing anggota kelompok saling
membantu dan mengecek.
4) Gergaji Silang. Teknik ini mengisyaratkan
setiap anggota kelompok diberi tugas berbeda dan kemudian diharapkan darinya
untuk menceritakan kepada teman lainnya tentang apa yang telah dipelajari.
5) Investigasi Kelompok. Hampir sama dengan gergaji
silang, hanya saja kelompok memecahkan suatu subtopik mereka menjadi
tugas-tugas individual dan melaksanakan kegiatan yang diperlukan untuk
mempersiapkan laporan kelompok. Setiap kelompok kemudian membuat presentasi
atau peragaan untuk mengkomunikasikan temuannya kepada seluruh kelas.
6) Belajar Bersama. Anggota kelompok bersifat
heterogen dan menyelesaikan sebuah masalah secara bersama, dan bila berhasil
mereka memperoleh ganjaran positif secara kelompok. Metode ini menekankan pada
kegiatan-kegiatan pembinaan kerjasama tim sebelum siswa mulai bekerja sama dan
melakukan diskusi terjadwal di dalam kelompok tentang seberapa jauh mereka berhasil
dalam bekerja sama.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan kerja
kelompok antara lainsebagai berikut.
1) Taraf kecerdasan anggota
kelompok
2) Hubungan antar anggota kelompok
3) Pengenalan anggota kelompok
mengenai problem yang dihadapi
4) Motivasi anggota kelompok dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan
5)
Besarnya jumlah kelompok
6) Kemampuan pemimpin kelompok
dalam memimpin anggotanya
7) Minat, keaktifan dan
keterampilan anggota dalam menyelesaikan masalah.
Beberapa kontribusi positif yang diperoleh dengan melaksanakan
pembelajaran secara kooperatif antara lain :
1)
Meningkatkan hubungan antar individu
Pembelajaran kooperatif
merupakan proses dimana memberikan peluang kepada siswa untuk terlibat lebih
aktif, meningkatkan interaksi dalam mencapai sasaran belajar, berbagi tanggung
jawab, saling mengisi dalam pemecahan masalah, yang mana proses tersebut pada
gilirannya akan meningkatkan hubungan positif antar siswa.
2) Memberikan dukungan pada
interaksi sosial
Siswa lebih terdorong untuk
menerima/menghargai antar sesama siswa, menambah ketekunan dalam usaha mencapai
sasaran belajar, menjadi lebih tabah dan ulet, khususnya dalam menghadapi
tugas-tugas serta situasi yang mendatangkan kekurang senangan/kekecewaan.
3) Meningkatkan rasa harga diri
Rasa percaya diri terhadap
kemampuannya dan kesanggupan untuk meningkatkan pencapaian akademiknya akan
terbentuk pada diri siswa.
4) Meningkatkan
pencapaian/produktivitas akademik.
Dengan adanya saling
keterkaitan antar anggota dalam kelompok, peningkatan pola-pola interaksi, rasa
tanggung jawab, dorongan untuk kreatif, maka semua ini akan meningkatkan
pencapaian/produktivitas prestasi belajarnya.
Sedangkan pelaksanaan Model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dilaksanakan dengan langkah-langkah
sebagai berikut.
1)
Membagi siswa ke dalam kelompok masing-masing terdiri dari 4 anggota
dengan kemampuan beragam (baik, sedang dan kurang) dan kelompok ini berlaku
untuk setiap menggunakan pembelajaran kelompok. (kelompok paten)
2)
Dalam setiap pertemuan yang berkaitan dengan topik baru dibagikan LKS
yang berkaitan dengan topik bersangkutan
3)
Setelah LKS dibagikan siswa diberikan kesempatan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam LKS dengan waktu yang telah ditetapkan.
Siswa dalam tim diharapkan bekerja dalam duaan (berpasangan) namun walaupun
demikian masing-masing siswa sebelumnya diharapkan bekerja secara mandiri,
tetapi tidak menutup kemungkinan mereka untuk saling bertukar pikiran sesama
pasangan dan anggota lain dalam kelompok dan jika mengalami hambatan guru dapat
membantunya.
4)
Setelah selesai mengerjakan LKS maka setiap pasangan akan saling
mencocokkan jawaban mereka dan kemudian saling mengajukan pertanyaan di antara
sesama teman dalam satu tim, partner secara bergantian memegang lembar jawaban
atau mencoba menjawab pertanyaan temannya.
5)
Perlu ditekankan bahwa mereka tidak boleh mengakhiri kegiatan belajar
sampai mereka yakin bahwa seluruh anggota tim mereka dapat menjawab 100% benar
soal-soal tersebut.
6)
Pada saat siswa bekerja dalam tim, guru berkeliling di dalam kelas
untuk memberikan ganjaran kepada kelompok yang bekerja dengan baik.
7)
Setelah topik yang dibicarakan diperkirakan telah dipahami masing
–masing kelompok maka diadakan pengklarifikasian jawaban antara kelompok
sehingga terjadi persamaan persepsi tentang konsep yang terkandung di dalam
pokok bahasan yang bersangkutan. Dalam
hal ini posisi guru tetap sebagai fasilitator.
8)
Setelah ditemukannya konsep yang terkandung dalam pokok bahasan yang
dibicarakan maka sisa waktu dimanfaatkan oleh guru untuk menegaskan kembali konsep
tersebut dan selanjutnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendalami
konsep melaui latihan-latihan yang ada dalam LKS maupun soal dalam buku paket (fase
aplikasi konsep).
Berdasarkan hal di atas, dapat diyakini bahwa
pembelajaran kooperatif Team Assisted
Individualization (TAI) dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa.
2.5 Prestasi Belajar IPA (Fisika)
Woodworth dan Marquis (1962 : 58) mengemukakan bahwa
prestasi belajar merupakan kemampuan aktual yang dapat diukur secara langsung
dengan tes. Bloom (1971: 7) mengungkapkan, prestasi belajar merupakan hasil
perubahan tingkah laku yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Sedangkan menurut Nasution (2001 : 439) prestasi belajar adalah penguasaan
seseorang terhadap pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata
pelajaran, yang lasimnya diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan
guru. Penelitian ini hanya melibatkan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa dalam
ranah kognitif saja. Bloom sebagaimana dikutip
Sudjana (1995 : 22) menguraikan bahwa ranah kognitif terdiri atas:
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pengetahuan dan pemahaman merupakan ranah
kognitif tingkat rendah dan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi
merupakan ranah kognitif tingkat tinggi. Dalam hal ini hanya mencakup aspek
pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi karena penelitian ini dilaksanakan pada
tingkat SMP yang tingkatan ranah kognitifnya pada tingkat aplikasi.
Dari uraian di atas, tampak bahwa pengertian
prestasi belajar yang diungkapkan tidak mengandung kontradiksi namun saling
melengkapi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan
kemampuan aktual yang dimiliki seorang siswa sebagai hasil usaha belajarnya.
Kemampuan aktual tersebut dapat berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
nilai yang dapat diukur tinggi rendahnya dengan jalan memberikan tugas-tugas
kepada siswa yang relevan dengan sasaran yang diinginkan. Hasil yang diperoleh
siswa dalam suatu mata pelajaran dinyatakan dalam bentuk nilai yang disebut
prestasi belajar.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar tidak terlepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu sendiri. Suryabrata (1993 :
250-254), Sudjana (2000 : 34-42), dan Purwanto (2000 : 106-107) mengungkapkan,
faktor-faktor tersebut adalah faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar terdiri
atas lingkungan, meliputi: lingkungan alami dan lingkungan sosial, dan
instrumental: meliputi: kurikulum, program, sarana, dan guru. Faktor dalam
terdiri atas faktor fisiologis, meliputi: kondisi fisik secara umum dan kondisi
pancaindera, dan faktor psikologis, meliputi: minat, kecerdasan, bakat,
motivasi, dan kemampuan kognitif. Sofyatiningrum (2001 : 342) mengungkapkan,
salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor
sekolah, yang mencakup metode mengajar. Agar prestasi belajar dapat optimal,
maka guru harus dapat menentukan dan memilih metode mengajar yang tepat dan
mengelolanya dengan baik. Melengkapi uraian yang disampaikan Sofyatiningrum
tersebut, Nasution (2001 : 39) menambahkan, salah satu faktor internal yang
harus diperhatikan guru dalam mengajar adalah pengetahuan yang sudah dimiliki
oleh seorang siswa sebelum ia mengikuti pelajaran berikutnya, selain kondisi
pribadi siswa terutama kecerdasan dan sikapnya terhadap pelajaran yang
dihadapi. Dengan demikian, prestasi belajar siswa di sekolah dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan merupakan interaksi dari faktor-faktor tersebut. Demikian
halnya dengan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti: bagaimana guru menyampaikan materi pelajaran, pengetahuan yang telah dimiliki siswa, dan
yang tidak sedikit kontribusinya adalah bagaimana kemampuan atau daya nalar siswa
(Russeffendi, 1979 : 8). Untuk itu agar tercapai prestasi belajar dan tujuan
pembelajaran yang diharapkan, maka faktor-faktor ini harus dapat dikelola
dengan baik.
Untuk mengetahui prestasi belajar yang diperoleh
siswa, diperlukan suatu evaluasi setelah selesai mengajarkan satu pokok bahasan
atau sub pokok bahasan. Alat yang digunakan untuk melihat prestasi belajar
siswa dapat menggunakan tes lisan, tes tertulis, dan tugas-tugas. Berkaitan
dengan penelitian ini, prestasi belajar IPA (Fisika) siswa dilihat dari skor
yang diperoleh siswa dari tes yang diberikan.
Terkait dengan penelitian ini, berikut diuraikan faktor
dominan yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, yakni aktivitas belajar siswa
terhadap pelajaran IPA (Fisika).
2.6 Hubungan Antara Model Pembelajaran TAI terhadap
Prestasi Belajar IPA (Fisika)
Sebagaimana telah diuraikan di atas, prestasi
belajar IPA (Fisika) siswa merupakan tingkat penguasaan siswa terhadap materi
yang diajarkan dalam IPA (Fisika). Prestasi merupakan salah satu tolok ukur
keberhasilan proses pembelajaran. Prestasi juga merupakan indikator atas
tercapai tidaknya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Itu sebabnya
prestasi belajar menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses pembelajaran.
Prestasi belajar IPA (Fisika) dan aktivitas belajar dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti: interaksi yang terjadi di dalam kelas, metode dan
media yang digunakan guru, sarana prasarana yang tersedia, kemampuan siswa, dan
sebagainya. Ini berarti bahwa metode pembelajaran dapat mempengaruhi aktivitas
dan prestasi belajar IPA (Fisika) siswa. Metode pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik materi ajar dan situasi kelas yang dihadapi memungkinkan dapat
menumbuhkan aktivitas positif terhadap pelajaran yang sedang dipelajari, dan
pada akhirnya akan mampu meningkatkan prestasi belajar siswa.
Kemampuan siswa dalam menangkap dan menyimpan
informasi sangat beragam. Informasi yang disampaikan guru ditangkap dan
disimpan dengan kualitas yang tidak sama pada setiap siswa. Bahkan mungkin
informasi yang disampaikan guru lewat begitu saja, meskipun informasi yang
disampaikan tidak sesuai dengan informasi yang telah mereka miliki sebelumnya.
Ini merupakan sumber konflik kognitif yang terjadi dan dialami siswa. Masalah
seperti ini tidak tersentuh oleh metode pengajaran konvensional. Jika konflik
demi konflik tidak mendapat pemecahan dengan baik, sangat mungkin dapat
menumbuhkan sikap apriori siswa terhadap pelajaran IPA (Fisika). Akibatnya,
prestasi belajar yang baik akan sulit tercapai.
Banyak bentuk pembelajaran kooperatif, namun yang paling
tepat digunakan untuk mengoptimalkan penyesuaian metode pembelajaran dengan
kemampuan siswa sangat beragam adalah pembelajaran kooperatif Team
Assisted Individualization . Metode pembelajaran ini dipilih dengan
pertimbangan bahwa pada dasarnya metode pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) ini merupakan belajar secara
kooperatif namun banyak menonjolkan pembelajaran dengan belajar secara
individual, yang mana siswa tetap dikelompokkan tetapi siswa belajar sesuai dengan
kecepatan dan kemampuan masing-masing melalui proses internalisasi..
Pembelajaran kooperatif dengan model Team
Assisted Individualization (TAI) lebih memungkinkan dapat meningkatkan
individualitas siswa dan prestasi belajar siswa secara nyata lebih baik
dibandingkan dengan belajar secara konvensional. Menurut Driver (1988)
pembelajaran yang menekankan pada pendekatan konstruktivis lebih terfokus pada
“suksesnya siswa dalam mengorganisasikan pengetahuan mereka”, dan bukan pada
“kebenaran siswa dalam melakukan refleksi atas apa yang dikerjakan guru”.
Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa pebelajar hendaknya tidak dipandang
sebagai penerima pasif dari suatu pembelajaran, tetapi harus dilihat sebagai
bagian yang aktif dan bertanggung jawab
atas pembelajaran dirinya.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang dibentuk dalam
suatu kelompok kecil di mana siswa bekerja sama serta mengoptimalkan
keterlibatan dirinya dan anggota kelompok dalam belajar. Sehubungan dengan itu
Tantra (1998:13) mengatakan bahwa: “peran sebagai individu dapat dimaksimalkan
dalam belajar secara kooperatif karena 1) sumbangan setiap anggota kelompok
diakui, 2) siswa belajar mengintegrasikan dan mensintesiskan beraneka ragam
pandangan siswa lain dalam kelompok, 3) siswa belajar memilih beberapa
alternatif yang tersedia untuk pendapat mereka atau pendapat orang lain, 4)
siswa melakukan beraneka macam tugas yang selalu disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing namun dibantu oleh siswa lain dalam satu kelompok, dan 5) setiap
anggota kelompok dapat dievaluasi berdasarkan atas kriteria sendiri”. Dengan demikian pembelajaran secara
kooperatif memungkinkan siswa belajar secara kolaboratif dengan memaksimalkan
produktivitas dan prestasi belajar mereka secara individual maupun secara
kelompok
2.7 Kerangka Berpikir
Upaya yang dilakukan oleh seorang guru untuk
meningkatkan prestasi belajar siswanya adalah melakukan tindakan yang mengarah
pada pencapaian tujuan secara optimal. Menerapkan berbagai model pembelajaran
dalam proses belajar mengajar (PBM) adalah salah satu contoh dari tindakan
tersebut. Dalam penelitian akan dicobakan suatu model pembelajaran yaitu model
pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI). Model ini akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
pada siswa dalam mengembangkan kerjasama dan tanggung jawab serta kompetisi
yang positif dan meningkatkan kemampuan individualitas dalam belajar Fisika. Dengan
adanya rasa kerja sama dan tanggung jawab diharapkan dapat menumbuhkan aktivitas
belajar di dalam diri siswa. Aktivitas belajar ini akan memacu siswa untuk
belajar lebih baik. Dari paparan ini
dapat diduga bahwa pernerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization
(TAI) dapat
meningkatkan prestasi belajar IPA (Fisika) dan aktivitas belajar siswa.
2.8 Hipotesis Tindakan
Berpedoman kajian di
atas, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan
dari peneitian ini adalah sebagai berikut
1. Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualizatio (TAI) dapat meningkatkan aktivitas
belajar IPA (Fisika) Siswa Kelas IX G
SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009.
2. Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dapat meningkatkan Prestasi
belajar IPA (Fisika) Siswa Kelas IX G
SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009.
3. Respon siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang
terhadap penerapan model pembelajaran Team
Assisted Individualization (TAI) adalah positif.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Seting Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan ini
adalah penelitian tindakan kelas atau class room action research yang
secara umum bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki proses pembelajaran di
sekolah pada umumnya dan dalam kelas pada khususnya. Penelitian ini
dilaksanakan di kelas IX G SMP Negeri 1 Abang dari bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009. Dalam
pelaksanaan tindakan digunakan model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) yang dilaksanakan dalam dua
siklus.
3.2 Subjek
dan objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas IX G SMP Negeri 1 Abang pada semester II tahun ajaran 2008/2009, dengan
banyak siswa 42 orang. Adapun objek penelitian ini aktivitas belajar, prestasi
belajar IPA (Fisika) dan respon siswa kelas IX G SMP Negeri 1 Abang tahun pelajaran 2008/2009
3.3 Prosedur
Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan
penelitian tindakan kelas dengan mengikuti beberapa tahapan seperti yang
dikemukakan Kemmis & Taggart (1998) yaitu: 1) tahap perencanaan (planing), 2) tahap tindakan (action), 3) tahap observasi/ evaluasi (evaluation), dan 4) tahap refleksi (reflection), kemudian kembali lagi ke
tahap perencanaan, tahap tindakan dan seterusnya, sehingga membentuk siklus
seperti yang digambarkan pada gambar 3.1.
![]() |
Rincian
konsep yang dibahas pada setiap siklus disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Konsep yang Dibahas pada Masing-masing Siklus
SIKLUS |
KONSEP |
WAKTU |
I |
Kemagnetan 1.
Sifat-sifat magnet § Kutub-kutub magnet § Medan Magnet § Bahan magnetik § Gejala kemagnetan § Pembuatan magnet 2.
Bumi sebagai magnet § Kompas § Inklinasi § Deklinasi 3. Tes Prestasi belajar siklus I |
4 kali pertemuan 4 x 3 JP |
II |
Elektromagnetik 1.
Kemagnetan dari Kelistrikan § Penemuan Oersted § Medan magnet dari
solenoida § Gaya magnetik pada
arus listrik § Penerapan
elektromagnetik 2.
Kelistrikan dari Kemagnetan § Induksi
elektromagnetik § Generator § Transformator § Efisiensi
transformator 3. Tes Prestasi
belajar siklus II |
4 kali pertemuan 4 x 3 JP |
3.3.1 Refleksi
Awal
Berdasarkan hal ini, peneliti mencoba
menerapkan model pembelajaran Team Assisted
Individualization (TAI).
Refleksi dilakukan pada akhir siklus,
sebagai acuan dalam refleksi ini adalah hasil tes prestasi belajar IPA (Fisika)
siklus II dan hasil observasi aktivitas belajar siswa. Hasil refleksi ini
digunakan sebagai dasar untuk membandingkan hasil siklus I dengan siklus II
apakah terjadi peningkatan atau sebaliknya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri
atas.
a. Data aktivitas belajar siswa, dikumpulkan dengan
lembar observasi dan diambil tiap pertemuan selama penelitian. Dalam penelitian ini, aktivitas belajar yang dimaksud ditunjukkan
oleh 5 indikator aktivitas. Masing-masing indikator dijelaskan dengan 4
deskriptor aktivitas, yang dimodifikasi dari indikator aktivitas yang
dirumuskan oleh Tim Instruktur PKG (Suriasa, 2004). Adapun 5 indikator prilaku
siswa yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1) Interaksi siswa dengan guru
Untuk menilai
indikator ini perlu diperhatikan deskriptor berikut.
(a) Siswa mengajukan pertanyaan minimal satu kali
pada guru terkait dengan hal yang dianggapnya belum jelas.
(b) Siswa berusaha menjawab dengan benar pertanyaan
guru.
(c) Siswa berusaha menjawab benar pertanyaan yang
dijawab salah sebelumnya.
(d) Siswa mengemukakan pendapat pada guru.
2) Interaksi siswa dengan siswa
Untuk menilai
indikator ini perlu diperhatikan deskriptor berikut.
(a) Siswa bertanya pada rekan-rekannya yang lebih
mampu.
(b) Siswa menjawab pertanyaan temannya.
(c) Siswa mencoba memperbaiki kesalahan temannya saat
mengerjakan soal.
(d) Siswa memperhatikan penjelasan temannya.
3) Kerjasama dalam kelompok
Untuk menilai
indikator ini perlu diperhatikan deskriptor sebagai berikut.
(a) Adanya pembagian tugas dalam kelompoknya.
(b) Mengerjakan tugas kelompok dengan seksama.
(c) Mengerjakan tugas sampai tuntas.
(d) Saling membantu antar anggota kelompok .
4) Aktivitas siswa dalam diskusi kelompok
Untuk menilai
indikator ini perlu diperhatikan deskriptor sebagai berikut.
(a) Siswa mengemukakan pendapat dalam diskusi.
(b) Siswa menanggapi pendapat temannya.
(c) Siswa berusaha untuk memberikan yang lain setiap
ada pertanyaan.
(d) Siswa berusaha memberikan contoh dengan benar
dalam diskusi.
5) Partisipasi siswa dalam menyimpulkan hasil
belajar
Untuk menilai
indikator ini perlu diperhatikan deskriptor sebagai berikut.
(a) Siswa dapat menyimpulkan materi yang dibahas.
(b) Siswa dapat memperbaiki simpulan materi yang
dibahas.
(c) Siswa dapat memperbaiki atau menambahkan simpulan
dari temannya.
(d) Mencatat ringkasan atau rangkuman yang diberikan
oleh guru.
Skor yang diberikan mengikuti skala penilaian
pada tabel berikut.
Tabel 3.2 Skala Penilaian Aktivitas Belajar
Skala penilaian |
Deskriptor |
5 |
Semua deskriptor
tampak |
4 |
Tiga deskriptor
tampak |
3 |
Dua deskriptor
tampak |
2 |
Satu deskriptor
tampak |
1 |
Tidak ada
deskriptor tampak |
b. Data prestasi belajar IPA (Fisika). Data ini
dikumpulkan dengan menggunakan tes prestasi belajar IPA (Fisika). Tes ini dalam
bentuk soal essay.
c. Data mengenai respon siswa, yang dikumpulkan
dengan angket respon pada akhir penelitian. Untuk mengetahui respon siswa
mengenai proses pembelajaran digunakan angket atau kuisioner. Angket yang
digunakan yaitu model skala Likert dengan pilihan sangat setuju (SS), setuju
(S), ragu-ragu (RR), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS). Untuk
pernyataan yang positif, masing-masing pilihan pada setiap item diberi skor
yaitu : SS = 5 ; S = 4 ; RR = 3 ; TS = 2 ; STS = 1. Sedangkan untuk pernyataan
yang negatif, masing-masing pilihan pada setiap item diberi skor yaitu : SS = 1
; S = 2 ; RR = 3 ; TS = 4 ; STS = 5.
3.5 Analisis
Data
1.
Data Aktivitas Belajar Belajar Siswa
Analisis
terhadap aktivitas belajar siswa dilakukan secara deskriptif. Untuk mengetahui
kualitas aktivitas belajar siswa dalam proses pembelajaran, maka data hasil
observasi berupa skor disesuaikan dengan deskriptor yang tampak. Skor yang
diberikan mengikuti skala penilaian pada tabel 3.2. Data yang diperoleh dari
hasil observasi yang berupa skor diolah dengan rumus:
(n1
x 1) + (n2 x 2) + (n3x 3) +(n4 x 4) +(n5
x 5)
Skor (
) =
(banyaknya siswa) x (banyaknya item)
Keterangan:
ni = banyaknya siswa yang mendapat
skor ke-i (untuk i = 1,2,3,4,5).
Untuk memperoleh gambaran
aktivitas siswa secara klasikal, analisis didasarkan pada rata-rata skor
aktivitas belajar siswa (), Mean ideal (MI)
dan standar deviasi ideal (SDI). Rumus untuk MI dan SDI adalah:
MI = ½ (skor tertinggi + skor terendah)
SDI = 1/6 ( skor tertinggi
ideal – skor terendah ideal)
Kemudian hasilnya dikonversikan dengan pedoman
kualifikasi aktivitas belajar siswa seperti pada tabel 3.3.
Tabel 3.3 Pedoman Konversi Kualifikasi Aktivitas Belajar Siswa
Skor
|
Kualifikasi |
|
Sangat Aktif |
MI + 0,5 SDI £ |
Aktif |
MI – 0,5 SDI £ |
Cukup Aktif |
MI–1,5SDI £ |
Kurang Aktif |
|
Sangat Kurang Aktif |
Kriteria keberhasilan
penelitian yaitu bila kualifikasi aktivitas belajar siswa berada pada
kualifikasi aktif.
2.
Data Prestasi belajar IPA (Fisika)
Prestasi belajar IPA (Fisika)
dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menentukan nilai rata-rata prestasi
belajar (mean) dengan rumus sebagai berikut.
![]() |
=
Keterangan:
M = Rata-rata penguasaan konsep
X = Nilai tes
prestasi belajar siswa
N = Banyaknya siswa
(Nurkancana, Sunartana, 1990:173)
Kualifikasi prestasi belajar IPA
(Fisika) ditentukan dengan kriteria berikut.
Tabel 3.4 Pedoman Konversi Kualifikasi Prestasi Belajar
Skor |
Kualifikai |
85 ≤
M ≤ 100 |
Sangat Baik |
70 ≤
M < 85 |
Baik |
55 ≤
M < 70 |
Cukup |
40 ≤
M < 55 |
Kurang |
0 ≤
M < 40 |
Sangat Kurang |
(STKIP Singaraja,1999:28)
Kriteria keberhasilan nilai rata-rata
prestasi belajar IPA (Fisika) kelas sekurang-kurangnya 65 sesuai dengan
tuntutan kurikulum serta daya serap dan ketuntasan belajar siswa dengan rumus sebagai berikut.
![]() |
DS = M x 10%
![]() |
KB =
Keterangan :
DS =
Daya Serap
M =
Nilai rata-rata penguasaan konsep
KB = Ketuntasan Belajar
N =
Banyaknya Siswa
Daya serap dan ketuntasan
belajar yang dicapai diharapkan memenuhi tuntutan kurikulum yaitu Daya Serap
(DS) ³ 65% dan Ketuntasan Belajar (KB) ³ 85% (Depdikbud, 1993).
3. Data
Respon Siswa
Analisis
terhadap respon siswa dilakukan secara deskriptif. Kriteria penggolongan respon
siswa disusun berdasarkan mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (SDI).
Rumus MI dan SDI adalah :
MI = ½ (skor tertinggi ideal +
skor terendah ideal)
SDI = 1/6 (skor tertinggi ideal –
skor terendah ideal)
(Nurkancana, Sunartana, 1990)
Respon
siswa ditentukan dengan menghitung rata-rata respon siswa untuk kemudian
dikategorikan dengan pedoman berikut.
Tabel 3.5 Pedoman Konversi Kualifikasi Respon Siswa
Skor |
Kualifikasi |
|
Sangat Positif |
MI + 0,5 SDI £ R < MI + 1,5 SDI 40 £ R <48 |
Positif |
MI – 0,5 SDI £ R < MI + 0,5 SDI 32 £ R <40 |
Cukup Positif |
MI – 1,5 SDI £ R< MI – 0,5 SDI 24 £ R< 32 |
Kurang Positif |
R < MI – 1,5 SDI R < 24 |
Sangat Kurang Positif |
Untuk respon
siswa digunakan angket yang terdiri dari 12 item. Tiap item memiliki skor
maksimum 5 dan skor minimum 1, dengan demikian skor tertinggi dan sekor
terendah adalah 60 dan 12. Sehingga dapat dihitung mean ideal (MI) dan standar
deviasi (SDI) yaitu:
MI = 1/2 (60 + 12) = 1/2 . 72 = 36
SDI
= 1/6 (60 – 12) = 1/6 . 48 = 8
Sehingga
nilai di atas dapat dikompersikan pada tabel 3.5.
Untuk skor rata-rata
respon siswa digunakan rumus :
![]() |
Keterangan :
R =
skor rata-rata respon siswa
X =
skor respon siswa
N =
banyaknya siswa
Kriteria
keberhasilannya jika respon siwa mencapai kualifikasi positif.
0 komentar:
Posting Komentar