Salam dan Bahagia
Sejak kurang dari satu dekade lalu, dunia mengalami perubahan yang ekstrim karena perubahannya begitu cepat dan mampu mempengaruhi berbagai sendi kehidupan baik perilaku individu, struktur sosial maupun praktek berorganisasi. Dalam melihat dunia yang kian radikal ini, kita perlu belajar melihat dengan jernih apa yang sungguh-sungguh bermakna buat kita sekarang dan di masa depan.
Derasnya rutinitas dunia membuat kita lupa akan makna, atau apa yang dunia harapkan pada kita. Kita jarang menilik kembali makna hidup kita, harapan kita. Padahal, harapan itu bagaikan bahan bakar untuk tetap berputarnya dunia seorang manusia. Manusia yang berpengharapan berpeluang mencapai lebih banyak ketimbang mereka yang tidak berpengharapan.
Murid yang memiliki pengharapan tinggi dapat mengonseptualisasikan tujuan mereka dengan jelas, sedangkan murid yang memiliki pengharapan rendah lebih ragu-ragu dan tidak jelas akan tujuan mereka. Murid dengan pengharapan tinggi menentukan tujuan mereka berdasarkan kinerja mereka sebelumnya. Mereka memasang target belajar dan standar kinerja yang sedikit lebih tinggi dari apa yang dapat mereka capai, karena mereka dapat menyelaraskan diri dengan tujuan mereka sendiri dan mengendalikan bagaimana mereka akan mencapainya. Murid seperti itu termotivasi secara intrinsik dan berkinerja baik secara akademis (Snyder et.al., 2002, p.824). Mereka adalah murid merdeka.
Dari kenyataan empirik tersebut kemudian munculah pertanyaan mengenai bagaimana kita sebagai guru dapat mendesain lingkungan belajar yang memungkinkan tumbuhnya murid merdeka yang memiliki kemandirian dan motivasi intrinsik yang tinggi? Maka atas pertanyaan itulah, guru perlu terus berlatih meningkatkan kapasitas dirinya dalam memvisualisasikan harapan, menggandeng sesama dan mentransformasikannya menjadi harapan bersama. Dari sana, baru kemudian dilanjutkan dengan segala upaya gotong-royong yang diperlukan demi pencapaian harapan bersama tersebut. Harapan kita adalah visi kita. Visi kita sekarang adalah masa depan murid kita. Masa depan murid kita adalah masa depan bangsa kita, Indonesia.Dalam tulisan ini kita akan mengeksplorasi paradigma yang disebut Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016).
Dalam sebuah video di Youtube, Cooperrider menyatakan bahwa pendekatan IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas, serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang biasa.
IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan.
Di sekolah, pendekatan IA dapat dimulai dengan mengidentifikasi hal baik yang telah ada di sekolah, mencari cara agar bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, sehingga kelemahan, kekurangan dan ketidak-adaan menjadi tidak relevan. Berpijak dari hal positif tersebut, sekolah kemudian menyelaraskan hal positif atau kekuatan tersebut dengan visi sekolah dan visi setiap individu dalam komunitas sekolah.
APA ITU BAGJA ?
Bagja merupakan model manajemen perubahan yang menggunakan paradigma inkuiri apresiatif.
Alur BAGJA sebagai berikut.
B artinya Buat Pertanyaan Utama untuk menentukan arah penelusuran
A artinya Ambil Pelajaran untuk menuntun pengambilan pelajaran
G artinya Gali untuk menyusun narasi keadaan ideal
J artinya Jabarkan Rencana untuk mengidentifikasi tindakan yang diperlukan
A artinya Atur Eksekusi untuk membantu transformasi rencana menjadi nyata
Perubahan yang positif dan konstruktif di sekolah biasanya membutuhkan waktu dan bersifat gradual. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, guru penggerak hendaknya terus berlatih mengelola diri sendiri sambil terus berupaya menggerakkan orang lain yang berada di bawah pengaruhnya untuk menjalani proses bersama-sama. Hal ini perlu dilakukan dengan niatan belajar yang tulus demi mewujudkan visi sekolah. Pada awal penerapannya nanti, guru penggerak mungkin merasakan kejanggalan atau meragukan keberhasilannya. Mari kita menguatkan kemauan melalui kurva belajar. Kurva belajar yang akan dialami guru penggerak mirip seperti seekor anak burung yang belajar terbang. Pada saat pertama kali terbang, jalur terbang anak burung tidak akan langsung ke atas, tapi akan ke bawah dahulu kemudian meliuk ke atas sebagaimana terlihat pada gambar berikut.
Pertama kali respon kita menghadapi perubahan adalah shock. Kemudian kita masuk ke tahap denial alias menyangkal. Sampai kita masuk dalam tahap frustrasi karena ternyata kondisi berdampak pada segala sektor. Disini ada dua kemungkinan, bila kita berhasil melewati tahap ini kita akan bergerak naik dalam grafik perubahan tersebut. Orang yang bisa move on dia akan mengeksplorasi dan melihat peluang yang ada dan mulai menerima kondisi ini menjadi a new normal. Akhirnya kita menjalani gaya kehidupan yang berubah ini menjadi kebiasaan baru. Demikianlah seterusnya kita akan masuk dalam siklus proses perubahan di atas ketika menghadapi perubahan baru lainnya.
Dengan merujuk pada kurva belajar ini, maka marilah terus percaya bahwa pendekatan positif akan membuahkan hasil yang lebih luar biasa. Ini semua perlu dibiasakan. Ini adalah kebiasaan baru.
Yakinlah bahwa guru penggerak akan berhasil membawa perubahan.
Sukses Sukses Kecil
Merupakan Modal untuk Meraih Sukses yang Lebih Besar
0 komentar:
Posting Komentar