Minggu, 13 September 2020

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF

1. Pendahuluan

Belajar merupakan proses perkembangan ke arah yang lebih sempurna. Perkembangan tersebut analog dengan perkembangan tumbuhan. Tumbuhan batang akan tumbuh lurus secara alamiah dalam areal yang tidak ada satu tumbuhanpun yang mengganggunya. Jika ada tumbuhan lain yang lebih besar menghalanginya, maka batang tersebut akan berkembang pula secara alamiah, walaupun harus dengan membelokkan arahnya menuju arah matahari.
Orang bisa membantu tumbuhan tersebut, misalnya dengan menggeser sedikit penghalangnya, atau jika pembelokan tumbuhan itu nabrak tumbuhan yang lain, arah belokannya digeser sedikit. Namun, agak celaka jika ada orang ingin memaksa pertumbuhannya, misalnya karena keinginannya agar bentuknya indah, agar menjadi kerdil, agar batangnya berbelok-belok, dan sebagainya. Andaikan tumbuhan itu bisa ngomong dan membilang tidak mau, maka ketika dipaksa oleh orang untuk tujuan-tujuan itu, dia akan menjerit sekeras-kerasnya. Tumbuhan itu memang mau berubah ketika dipaksa, namun karena kemauan orang. Tumbuhan itu akan berkembang secara efektif hanya karena ada unsur kebebasan baginya untuk berkembang. Untuk memperoleh proses percepatan perkembangan tumbuhan tersebut, orang bisa memberikan bantuan dengan fasilitas unsur hara, air, atau cahaya secukupnya, bahkan mengelompokkannya agar memberikan keindahan tertentu sebagai akibat perpaduan keberagaman warna daun, bunga, dan buah.
Dalam ilustrasi tersebut, secara analog dapat disimak konsepsi tentang belajar, inovasi, dan mengajar. Belajar paling efektif terjadi dalam suasana bebas. Inovasi adalah upaya untuk memperoleh percepatan proses dan keindahan hasil belajar berbasis pada kebebasan dan keragaman. Mengajar adalah melayani agar percepatan dan keindahan itu diperoleh dalam suasana menggembirakan. Learning can be fun, but only learners can make it so. 

2. Pembelajaran Konstruktivistik

Teori konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang meyakini bahwa pebelajar dapat belajar dengan secara aktif membangun sendiri pengetahuan, sikap, dan keterampilannya melalui aktivitas-aktivitas praktik. Praktik pembelajaran konstruktivistik membantu pebelajar untuk menginternalkan, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi melalui kreasi pemahaman baru yang merupakan hasil dari munculnya struktur kognitif baru. Pemahaman yang mendalam terjadi ketika hadirnya informasi baru yang mendorong munculnya struktur kognitif baru yang memungkinkan pebelajar memiliki kemampuan metakognisi. Dalam setting kelas konstruktivistik, para pebelajar bertanggung jawab terhadap pembelajarannya, menjadi pemikir yang otonom, mengembangkan konsep terintegrasi, mengembangkan pertanyaan yang menantang, dan menemukan jawabannya secara mandiri. Tujuh nilai utama konstruktivisme, yaitu: kolaborasi, otonomi individu, generativitas, reflektivitas, keikutsertaan secara aktif, relevansi individu, dan pluralisme. Ketujuh nilai utama konstruktivisme tersebut menyediakan peluang kepada pebelajar untuk mencapai pemahaman secara mendalam.
Setting pengajaran konstruktivistik yang mendorong konstruksi pemahaman secara aktif memiliki beberapa ciri, yaitu: (1) membebaskan pebelajar untuk belajar dari tujuan dan membiarkan mereka untuk memfokuskan gagasan secara mandiri; (2) menempatkan kemandirian pebelajar sesuai dengan minatnya, membuat hubungan, merumuskan kembali gagasan, dan menarik kesimpulan sendiri; (3) sharing dengan pebelajar mengenai pentingnya pesan bahwa dunia adalah tempat yang kompleks yang mana terdapat pandangan yang yang bersifat majemuk dan kebenaran sering merupakan hasil interpretasi; (4) mengakui bahwa pembelajaran dan proses penilaian harus disesuaikan dengan apa yang menjadi kreativitas para pebelajar.
    Pengajaran konstruktivistik lebih banyak menekankan proses diskusi dan konfrontasi yang melibatkan pengetahuan awal pebelajar. Dalam diskusi kelas menyerupai negosiasi, guru memperkenalkan konsepsi untuk dipelajari dan mengembangkannya. Strategi konflik kognitif cenderung memainkan peranan utama ketika pengetahuan awal pebelajar diperbandingkan dengan konsepsi-konsepsi guru. Untuk maksud tersebut, menjaring pengetahuan awal pebelajar sebelum pembelajaran adalah langkah awal pembelajaran konstruktivistik.
Menjaring pengetahuan awal serta melukiskan profilnya akan memberikan harapan memajukan proses pembelajaran untuk pemahaman. Pembelajaran berbasis pengetahuan awal akan menyediakan proses lebih bersifat fleksibel, yaitu untuk melakukan adaptasi terhadap perbedaan entry levels pebelajar, untuk mengindividualisasi materi-materi pembelajaran, dan untuk menyediakan dukungan pada masing-masing individu.
Pembelajaran berorientasi pengetahuan awal hendaknya dipertimbangkan pada basis model proses pembelajaran baru seperti yang dilukiskan oleh Glaser dan De Corte. Dalam proses pembelajaran tersebut, pengukuran secara menyeluruh memegang peranan sentral dan eksplorasi pengetahuan awal pebelajar merupakan starting point.
    Menurut model tersebut, pebelajar mulai dengan menetapkan tujuan-tujuan belajar mereka berkaitan dengan isi keseluruhan mata pelajaran. Setelah pengetahuan awal pebelajar tereksplorasi dan diketahui oleh mereka, tujuan-tujuan belajar diformulasikan kembali (jika memungkinkan) dan pebelajar memulai dengan tugas-tugas belajar yang sesuai dengan tujuan masing-masing. Selama proses pembelajaran, pebelajar melakukan ujian-ujian kemajuan belajar secara reguler. Ujian-ujian tersebut dimaksudkan untuk memeriksa kemajuan belajarnya, untuk menentukan jumlah bimbingan yang mungkin diperlukan, dan untuk mengidentifikasi tugas-tugas berikutnya. Di akhir penggalan materi pelajaran tertentu, pebelajar melakukan ujian akhir untuk materi tersebut.
Pendekatan pembelajaran konstruktivistik berfokus pada kemampuan-kemampuan metakognitif pebelajar. Mereka diberikan kebebasan dalam mengembangkan keterampilan berpikir sendiri dan bertujuan mengubah pandangan-pandangan mereka mengenai belajar pada umumnya. Pembelajaran mencoba memandu pebelajar menuju pandangan konstruktivistik mengenai belajar, bahwa pebelajar sendiri secara aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Dalam membantu pengembangan kemampuan metakognitif pebelajar, para guru dapat berorientasi dari proposisi-proposisi berikut.
    Proposisi, bahwa belajar adalah pengkonstruksian hubungan dan fenomena alam. Bertolak dari proposisi tersebut, maka mengajar hendaknya mulai dengan membangkitkan pebelajar agar menanyakan pertanyaannya sendiri dan mencari jawabannya sendiri, dan menantang mereka untuk memahami kompleksitas dunia. Mengajar hendaknya lebih mengutamakan pendekatan “apa yang dikatakan pebelajar kepada guru tentang apa yang mereka kerjakan daripada guru mengatakan kepada mereka bagaimana mengerjakannya”. Pendekatan ini menghargai pandangan pebelajar dan berusaha mendorong pebelajar ke dalam cara yang telah direncanakan untuk mereka sendiri.
    Proposisi, bahwa pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi sangat menetukan efesiensi dan efektivitas proses dan hasil belajar. Implikasi untuk pembelajaran dan evaluasi adalah menggali pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi pebelajar sebelum proses pembelajaran; mendorong pemahaman pada pebelajar bahwa miskonsepsi dapat dialami oleh siapa saja dan kapan saja; pembelajaran dilakukan dengan mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal pebelajar; menyediakan konflik kognitif untuk membantu pebelajar mengubah miskonsepsinya menuju konsepsi ilmiah; menyediakan fakta-fakta bahwa pengetahuan ilmiah lebih ampuh ketimbang pengetahuan awal pebelajar.
Proposisi, bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru, penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Implikasi untuk pembelajaran dan evaluasi adalah mendorong diskusi tentang pengetahuan baru, mendorong munculnya berpikir divergen, mendorong munculnya berbagai jenis aktivitas dan peluang debat antar pebelajar, lebih menekankan pada keterampilan berpikir kritis.
    Proposisi, bahwa kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar. Implikasi untuk pembelajaran dan penilaian adalah menyediakan pilihan tugas yang beragam, menyediakan balikan bahwa pebelajar telah menguasai apa yang dipelajari, menyediakan waktu yang cukup bagi pebelajar dalam mengerjakan tugas, pemberian tes dengan waktu yang relatif fleksibel, menyediakan peluang bagi pebelajar untuk melakukan perbaikan, melibatkan pengalaman-pengalaman konkrit.
    Proposisi, bahwa strategi belajar seseorang akan menentukan kualitas proses dan hasil belajarnya. Implikasi dalam pembelajaran dan evaluasi adalah memberi kesempatan pada pebelajar untuk belajar sesuai dengan strateginya masing-masing, menyediakan peluang bagi pebelajar untuk melakukan evaluasi diri tentang proses dan hasil belajarnya.
    Proposisi, bahwa motivasi dan upaya mempengaruhi belajar dan unjuk kerja. Implikasi untuk pembelajaran dan evaluasi adalah memberikan motivasi kepada pebelajar dengan menyediakan tugas-tugas riil dalam kehidupan sehari-hari dan mengaitkan tugas tersebut dengan pengalaman pribadinya, mendorong pebelajar untuk memahami kaitan antara upaya yang dilakukan dengan hasil yang diperolehnya.
    Proposisi, bahwa belajar pada dasarnya memiliki aspek sosial. Implikasi untuk pembelajaran dan evaluasi adalah menyediakan kesempatan kepada pebelajar untuk kerja kelompok, menerapkan kelompok-kelompok kooperatif yang hiterogen, menyediakan peluang bagi pebelajar untuk melakukan peran tersendiri dan bervariasi, evaluasi menyertakan upaya-upaya kelompok dan individual.

3. Konsepsi Inovasi Pembelajaran

    Inovatif (innovative) yang berarti new ideas or techniques, merupakan kata sifat dari inovasi (innovation) yang berarti pembaharuan, juga berasal dari kata kerja innovate yang berarti make change atau introduce new thing (ideas or techniques) in oerder to make progress. Pembelajaran, merupakan terjemahan dari learning yang artinya belajar, atau pembelajaran. Jadi, pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang dikemas oleh pebelajar atas dorongan gagasan barunya yang merupakan produk dari learning how to learn untuk melakukan langkah-langkah belajar, sehingga memperoleh kemajuan hasil belajar. Pembelajaran inovatif juga mengandung arti pembelajaran yang dikemas oleh guru atau instruktur lainnya yang merupakan wujud gagasan yang dipandang baru agar mampu memfasilitasi pebelajar untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar.
    Berdasarkan definisi secara harfiah pembelajaran inovatif tersebut, tampak di dalamnya terkandung makna pembaharuan. Gagasan pembaharuan muncul sebagai akibat seseorang merasakan adanya anomali atau krisis pada paradigma yang dianutnya dalam memecahkan masalah belajar. Oleh sebab itu, dibutuhkan paradigma baru yang diyakini mampu memecahkan masalah tersebut. Perubahan paradigma seyogyanya diakomodasi oleh semua manusia, karena manusia sebagai individu adalah makhluk kreatif. Namun, perubahan sering dianggap sebagai pengganggu kenyamanan diri, karena pada hakikatnya seseorang secara alamiah lebih mudah terjangkit virus rutinitas. Padahal, di dalam pendidikan, banyak kalangan mengakui bahwa pekerjaan rutin cenderung tidak merangsang, membuat pendidikan ketinggalan zaman, dan akan mengancam eksistensi negara dalam perjuangan dan persaingan hidup.
    Rutinitas kinerja dapat bersumber dari beberapa faktor yang dianggap menghambat inovasi. Faktor-faktor yang dapat dikategorikan sebagai penghambat inovasi, adalah: keunggulan inovasi relatif sulit untuk dijelaskan dan dibuktikan, sering dianggap time dan cost consumming, pelaksanaan cenderung partial, complexity innovation sering menghantui orang untuk diam di jalan rutinitas, dan simplification paradigm dalam innovation dissemination berpotensi mengurangi keyakinan dan pemahaman bagi para praktisi terhadap inovasi.
Inovasi pembelajaran muncul dari perubahan paradigma pembelajaran. Perubahan paradigma pembelajaran berawal dari hasil refleksi terhadap eksistensi paradigma lama yang mengalami anomali menuju paradigma baru yang dihipotesiskan mampu memecahkan masalah. Terkait dengan pembelajaran di sekolah, paradigma pembelajaran yang dirasakan telah mengalami anomali, adalah (1) kecenderungan guru untuk berperan lebih sebagai transmiter, sumber pengetahuan, mahatahu, (2) kuliah terikat dengan jadwal yang ketat, (3) belajar diarahkan oleh kurikulum, (4) kecenderungan fakta, isi pelajaran, dan teori sebagai basis belajar, (5) lebih mentoleransi kebiasaan latihan menghafal, (6) cenderung kompetitif, (7) kelas menjadi fokus utama, (8) komputer lebih dipandang sebagai obyek, (9) penggunaan media statis lebih mendominasi, (10) komunikasi terbatas, (11) penilaian lebih bersifat normatif. Paradigma tersebut diduga kurang mampu memfasilitasi pebelajar untuk siap terjun di masyarakat.
    Paradigma pembelajaran yang merupakan hasil gagasan baru adalah (1) peran guru lebih sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan, dan kawan belajar, (2) jadwal fleksibel, terbuka sesuai kebutuhan, (3) belajar diarahkan oleh pebelajar sendiri, (4) berbasis masalah, proyek, dunia nyata, tindakan nyata, dan refleksi, (5) perancangan dan penyelidikan, (6) kreasi dan investigasi, (7) kolaborasi, (8) fokus masyarakat, (9) komputer sebagai alat, (10) presentasi media dinamis, (11) penilaian kinerja yang komprehensif. Paradigma pembelajaran tersebut diyakini mampu memfasilitasi pebelajar untuk mengembangkan kecakapan hidup dan siap terjun di masyarakat.
    Dalam proses pembelajaran, paradigma baru pembelajaran sebagai produk inovasi seyogyanya lebih menyediakan proses untuk mengembalikan hakikat pebelajar ke fitrahnya sebagai manusia yang memiliki segenap potensi untuk mengalami becoming process dalam mengembangkan kemanuasiaanya. Oleh sebab itu, apapun fasilitas yang dikreasi untuk memfasilitasi pebelajar dan siapapun fasilitator yang akan menemani pebelajar belajar, seyogyanya bertolak dari dan berorientasi pada apa yang menjadi tujuan belajar pebelajar. Tujuan belajar yang orisinil muncul dari dorongan hati (mode = inrtinsic motivation). Paradigma pembelajaran yang mampu mengusik hati pebelajar untuk membangkitkan mode mereka hendaknya menjadi fokus pertama dalam mengembangkan fasilitas belajar. Paradigma hati tersebut akan membangkitkan sikap positif terhadap belajar, sehingga pebelajar siap melakukan olah pikir, rasa, dan raga dalam menjalani peristiwa belajar.
    Marzano et al (1993), memformulasi dimensi belajar menjadi lima tingkatan, (1) sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar, (2) perolehan dan pengintegrasian pengetahuan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4) penggunaan pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan produktif. Lima dimensi belajar tersebut akan terinternalisasi oleh pebelajar apabila mereka mampu melakukan oleh pikir, rasa, dan raga dalam belajar yang semuanya bersumber dari dorongan hati yang paling dalam. Asas quantum teaching (Bobbi de Porter et al., 2001; Bobbi de Porter, 2000) yang menyatakan: “bawalah dunia mereka ke dunia kita dan hantarkan dunia kita ke dunia mereka”, mungkin perlu diterjemahkan oleh para guru dalam mengembangkan fasilitas belajar yang mampu mengusik hati pebelajar untuk lebih bertanggung jawab terhadap belajarnya. Kompetensi tanggung jawab merupakan salah satu kompetensi sikap yang potensial dalam membangun kompetensi-kompetensi lainya, seperti berpikir kreatif-produktif, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, belajar bagaimana belajar, kolaborasi, pengelolaan dan/atau pengendalian diri. Kompetensi-komepetensi tersebut mutlak diperlukan oleh pebelajar agar mampu menjadi manusia yang adatable, flexible, dan versatil dalam segala aspek kehidupan yang senantiasa berubah.

4. Model-Model Pembelajaran
Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang secara konseptual hampir sama pengertiannya dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).
Model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon pebelajar, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).

4.1 Model Reasoning and Problem Solving
        Di abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik & Rudnick, 1996). Model reasoning and problem solving merupakan salah satu model yang direkomendasikan sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan reasoning and problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki pebelajar ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia nyata.
    Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi), yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking. Termasuk basic thinking adalah kemampuan memahami konsep. Kemampuan-kemapuan critical thinking adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis dan refleksi. Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah menghasilkan produk orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.
    Problem adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996). Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan reasoning.
        Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, demokratis, guru dan pebelajar memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses pebelajar melakukan aktivitas pemecahan masalah. Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang pebelajar untuk melakukan upaya reasoning dan problem solving. Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan pebelajar, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
Model reasoning and problem solving memiliki lima langkah pembelajaran sebagai berikut.
1. Membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan,
2. Mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar),
3. Menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan),
4. Menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri),
5. Refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).

4.2 Model Inquiry Training
        Untuk model ini, terdapat tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat tentatif, manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia mengembangkan indivuality secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan, prinsip kedua mengindikasikan pentingkan pebelajar melakukan eksplorasi, dan yang ketiga—kemandirian, akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah.
    Sistem sosial yang mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual, dan kesamaan derajat. Dalam proses kerjasama, interaksi pebelajar harus didorong dan digalakkan. Lingkungan intelektual ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide yang relevan. Partisipasi guru dan pebelajar dalam pembelajaran dilandasi oleh paradigma persamaan derajat dalam mengakomodasikan segala ide yang berkembang. Prinsip-prinsip reaksi yang harus dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan yang jelas dan lugas, menyediakan kesempatan kepada pebelajar untuk memperbaiki pertanyaan, menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan bimbingan tentang teori yang digunakan, menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan dan dukungan atas interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan generalisasi pebelajar. Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang menantang pebelajar untuk melakukan penelitian. Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah strategi penelitian dan semangat kreatif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi pebelajar, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran sebagai berikut.
  1. Menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan),
  2. Menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah),
  3. Mengkaji data dan eksperimentasi (mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis),
  4. Mengorganisasikan, merumuskan, dan menjelaskan, dan
  5. Menganalisis proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif.

4.3 Model Problem-Based Learning
    Problem-based learning (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open-ended melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata pebelajar, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada pebelajar dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
    Jonassen (1999) mendesain model lingkungan belajar konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem-based learning. Model tersebut memuat komponen-komponen esensial yang meliputi:(1) pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek, (2) kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain, (3) sumber-sumber informasi, (4) cognitive tools, (5) pemodelan yang dinamis, (6) percakapan dan kolaborasi, (7) dukungan kontekstual/sosial.
        Masalah dalam model tersebut mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan. Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined. Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objek-objek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan pebelajar dalam memecahkan masalah. Manipulasi ruang permasalahan memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai, dan tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam interaksi.
Kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain membantu pebelajar untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Dalam model lingkungan belajar konstruktivistik, kasus-kasus tersebut mendukung proses belajar dengan dua cara yaitu dengan memberikan scaffolding untuk membantu memori pebelajar dan dengan meningkatkan fleksibilitas kognisi pebelajar.
Fleksibilitas kognisi merepresentasi content dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibilitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibilitas kognisi menumbuhkan kreativitas berpikir divergen dalam proses representasi masalah.
    Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan.
Cognitive tools merupakan scaffolding bagi pebelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu pebelajar untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas.
Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu pebelajar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui?” dan “apa artinya?”
      Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi.
Dukungan sosial dan kontekstual diakomodasikan oleh guru-guru sejawat dan staff teknis diakomodasi untuk mensukseskan pelaksanaan pembelajaran. Guru-guru dan staff teknis saling memberikan ide-ide pemecahannya yang dapat membantu pemecahan masalah.
    Model desain lingkungan pembelajaran konstruktivistik didukung oleh pemodelan (modeling), coaching, dan scaffolding. Modelling berbentuk pemodelan tingkah laku untuk mendorong kinerja dan pemodelan kognitif untuk mendorong proses kognisi. Modelling difokuskan pada kinerja ekspert sebagai model. Coaching dipakai untuk mengembangkan kinerja (performance) pebelajar yang sifatnya kompleks dan tidak jelas (unclear). Coaching mencakup kegiatan pemberian motivasi, memonitor dan meregulasi kinerja pebelajar dan mendorong refleksi. Scaffolding merupakan suatu pendekatan yang sistematis dibandingkan modelling dan coaching yang difokuskan pada tugas, lingkungan belajar, guru, dan pebelajar. Scaffolding memberikan dukungan secara temporal yang mengikuti kapasitas kemampuan pebelajar. Scaffolding mencakup penentuan tingkat kesulitan tugas, restrukturisasi tugas, dan memberikan penilaian alternatif (alternative assessment)
    Model lingkungan belajar konstruktivistik tersebut memberikan landasan yang kuat dalam mendesain pendekatan problem-based learning. Proses pembelajaran matematika dengan pendekatan problem-based learning dijalankan dengan 8 langkah, yaitu: (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta-fakta, (4) menyusun dugaan sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan, (7) menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi permasalahan (Fogarty, 1997).
    Menemukan masalah. Pebelajar diberikan masalah berstruktur ill-defined yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada pebelajar untuk melakukan penyelidikan. Pebelajar menggunakan kecerdasan inter dan intra-personal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.
    Berdasarkan strukturnya, masalah dalam pembelajaran matematika dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu masalah yang terdefinisikan secara jelas (well-defined) dan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas (ill-defined) (Hudoyo, 2002; Jensen, 1993; Qin et al., 1995).
    Pengambilan masalah dari konteks nyata sangat bermanfaat bagi pebelajar dalam mengembangkan kemampuannya memecahkan masalah. Hasil-hasil penelitian tentang pemecahan masalah yang dipraktikan dalam kelas dengan masalah berstruktur ill-defined memberikan dampak-dampak sebagai berikut. (1) Penemuan masalah dapat meningkatkan kreativitas. (2) Memotivasi pebelajar yang menjadikan belajar terasa menyenangkan. (3) Masalah dengan struktur ill-defined membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan masalah yang berbentuk standard-problem. (4) Mendorong pebelajar memahami dan memperoleh hubungan-hubungan masalah dengan disiplin ilmu tertentu. (5) Informasi yang masuk ke dalam memori jangka panjang lebih diperkuat dengan menggunakan masalah yang berstruktur ill-defined (Krulik & Rudnick, 1996).
    Mendefinisikan masalah. Pebelajar mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Pebelajar membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah ini, pebelajar melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah.
Mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, pebelajar mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan.
    Menyusun dugaan sementara. Pebelajar menyusun jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Pebelajar juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan, jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang logis.
Menyelidiki. Pebelajar melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta-fakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan pebelajar dapat menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of knowing and understanding) dunia mereka.
Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. Pebelajar menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Pebelajar melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.
    Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif. Pebelajar berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual.
Menguji solusi permasalahan. Pebelajar menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Pebelajar menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan.
    Pendekatan problem-based learning yang bertolak dari pembelajaran konstruktivistik memuat urutan prosedural yang non-linear. Pembelajaran cenderung tidak berawal dan berakhir (Willis & Wright, 2000). Pembelajaran berjalan dalam suatu siklus dengan tahapan-tahapan berulang (recursive) (Wilson & Cole, 1996).
    Pembelajaran dengan pendekatan problem based-learning juga memberikan peluang bagi pebelajar untuk melibatkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dimiliki pebelajar (Fogarty, 1997; Gardner, 1999b). Keterlibatan kecerdasan majemuk dalam pemecahan masalah dengan pendekatan problem based learning dapat menjadi wahana bagi pebelajar yang memiliki kecerdasan majemuk beragam untuk melibatkan kemampuannya secara optimal dalam memecahkan masalah.
Guru membentuk kelompok-kelompok pebelajar yang jumlah anggotanya 4-5 orang (Boud & Felleti, 1997). Masing-masing kelompok mengumpulkan fakta-fakta dari permasalahan, merepresentasi masalah, merumuskan model-model matematis untuk penyelesaiannya, dan melakukan pengujian dengan perhitungan, dan menyajikan hasilnya di depan kelas.
    Guru berperan sebagai pembimbing dan menstimulasi pebelajar berpikir untuk memecahkan masalah. Sebagai fasilitator, guru melatih kemampuan pebelajar berpikir secara metakognisi. Ketika pebelajar menghadapi tantangan permasalahan dan diminta untuk mencari pemecahannya, ia berada dalam situasi kesenjangan antar skema berpikir yang dimilikinya dengan informasi-informasi baru yang dihadapinya. Pada saat ini, pebelajar membutuhkan bantuan-bantuan untuk mencari pemecahan masalah agar kesenjangan dapat dihilangkan. De Porter et al (2001) menyatakan, dalam situasi ini pebelajar mengambil resiko yang dapat menjadi pembangkit minat belajar. Ketika pebelajar dihadapkan dengan permasalahan, mereka keluar dari zona nyaman kemudian bertualang untuk masuk ke dalam situasi baru yang penuh resiko.
    Belajar dengan problem-based learning dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan pemecahan masalah sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Belajar dengan pendekatan problem based-learning berangkat dari permasalahan dalam konteks nyata yang dikaitkan dengan pemecahan masalah secara matematis.
Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning memuat langkah-langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Polya (1981) mengajukan empat tahap strategi pemecahan masalah yaitu: (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan, (3) menjalankan rencana pemecahan, (4) menguji kembali penyelesaian yang diperoleh. Dwiyogo (2000) menemukan bahwa proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh pebelajar mencakup tahap-tahap memahami masalah, merepresentasi masalah, menentukan model, melakukan kalkulasi, dan menyimpulkan jawaban.
Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning. Penilaian pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik merupakan bagian yang utuh dengan pembelajaran itu sendiri. Bertolak dari pandangan ini, maka penilaian pembelajaran pemecahan masalah dengan pendekatan problem-based learning dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran dilaksanakn secara nyata dan autentik.
Penilaian pembelajaran dengan problem-based learning dilakukan dengan authentic assesment. O’Malley dan Pierce (1996) mendefinisikan authentic assesment sebagai bentuk penilaian di kelas yang mencerminkan proses belajar, hasil belajar, motivasi, dan sikap terhadap kegiatan pembelajaran yang relevan. Penilaian dapat dilakukan dengan portfolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan pebelajar yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran.
    Marzano et al (1993) mengemukakan bahwa penilaian dengan portfolio dapat dipakai untuk penilaian pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif. Menurut Oliver (2000) penilaian kolaboratif dalam pendekatan problem based learning dilakukan dengan cara evaluasi diri (self-assessment) dan peer-assessment.
Self-assessment adalah penilaian yang dilakukan oleh pebelajar itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh pebelajar itu sendiri dalam belajar (Griffin dan Nix, 1991).
    Peer-assessment adalah penilaian di mana pebelajar berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya (Griffin dan Nix, 1991).
    Proses penilaian pembelajaran pemecahan masalah mencakup penilaian proses dan produk, bertolak dari langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning oleh Fogarty (1997), koheren dengan langkah-langkah penilaian autentik pembelajaran kontekstual menurut Johnson (2002); dan Marzano et al (1993), serta tahap-tahap pemecahan masalah menurut Polya (1981) dan Dwiyogo (2000).

4.4 Model Problem-Based Instruction
    Problem-based instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan pebelajar dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends et al., 2001). Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, pebelajar belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
    Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan pebelajar dalam proses teacher-asisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja pebelajar, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk pebelajar dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman pebelajar.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran sebagai berikut.
1. Guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi pebelajar),
2. Guru membantu pebelajar mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan surve dan pengukuran),
3. Guru membantu pebelajar menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya),
4. Pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan
5. Presentasi (dalam kelas melibatkan semua pebelajar, guru, bila perlu melibatkan administator dan anggota masyarakat).

4.5 Model Pembelajaran Berbasis Proyek
    Salah satu model pembelajaran inovatif adalah pembelajaran berbasis proyek (PBP). PBP berfokus pada konsep dan prinsip inti sebuah disiplin, memfasilitasi pebelajar untuk berinvestigasi, pemecahan masalah, dan tugas-tugas bermakna lainnya, students’ centered, dan menghasilkan produk nyata. Ada empat karakteristik PBP, yaitu isi, kondisi, aktivitas, dan hasil. Deskripsi karakteristik PBP disajikan pada Tabel 01.
    Dalam PBP, proyek dilakukan secara kolaboratif dan inovatif, unik, yang berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan pebelajar atau kebutuhan masyarakat atau industri lokal. PBP memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna bagi usia dewasa, atau pelatihan tradisional untuk membangun keterampilan kerja (Gaer, 1998). Dalam PBP, pebelajar menjadi terdorong lebih aktif dalam belajar, guru hanya sebagai fasilitator, guru mengevaluasi produk hasil kinerja pebelajar meliputi outcome yang mampu ditampilkan dari hasil proyek yang dikerjakan.
Dalam mengerjakan proyek, pebelajar dapat berkolaborasi dengan guru satu atau dua orang, tetapi pebelajar melakukan investigasi dalam kelompok kolaboratif antara 4-5 orang. Keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dan dikembangkan oleh pebelajar dalam tim adalah merencanakan, mengorganisasikan, negosiasi, dan membuat konsensus tentang tugas yang dikerjakan, siapa yang mengerjakan apa, dan bagaimana mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam berinvestigasi. Keterampilan yang dibutuhkan dan yang akan dikembangkan oleh pebelajar merupakan keterampilan yang esensial sebagai landasan untuk keberhasilan hidupnya. Di samping itu, keterampilan esensial tersebut sangat mendukung mereka ketika terjun di dunia kerja. Oleh karena hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut seyogyanya ditujukan untuk semua tim.

PBP dapat diterapkan untuk semua bidang studi. Implementasi model PBP mengikuti lima langkah utama, sebagai berikut.
  1. Menetapkan tema proyek. Tema proyek hendaknya memenuhi indikator-       indikator berikut: (a) memuat gagasan umum dan srisinil, (b) penting dan menarik, (c) mendeskripsikan masalah kompleks, (d) mencerminkan hubungan berbagai gagasan, (e) mengutamakan pemecahan masalah ill defined.
  2. Menetapkan konteks belajar. Konteks belajar hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut: (a) Pertanyaan-pertanyaan proyek mempersoalkan masalah dunia nyata, (b) mengutamakan otonomi pebelajar, (c) Melakukan inquiry dalam konteks masyarakat, (d) Pebelajar mampu mengelola waktu secara efektif dan efesien, (e) Pebelajar belajar penuh dengan kontrol diri, (f) Mensimulasikan kerja secara profesional
  3. Merencanakan aktivitas-aktivitas. Pengalaman belajar terkait dengan merencanakan proyek adalah sebagai berikut: (a) membaca, (b) meneliti, (3) observasi, (4) interviu, (5) merekam, (5) mengunjungi obyek yang berkaitan dengan proyek, (6) akses internet.
  4. Memeroses aktivitas-aktivitas. Indikator-indikator memeroses aktivitas meliputi antara lain: (a) membuat sketsa, (b) melukiskan analisa, (3) menghitung , (d) mengenerate, (e) mengembangkan prototipe.
  5. Penerapan aktivitas-aktivitas untuk menyelesaikan proyek. Langkah-langkha yang dilakukan, adalah: (a) mencoba mengerjakan proyek berdasarkan sketsa, (b) menguji langkah-langkah yang telah dikerjakan dan hasil yang diperoleh, (c) mengevaluasi hasil yang telah diperoleh, (4) merevisi hasil yang telah diperoleh, (d) melakukan daur ulang proyek yang lain, (e) mengklasifikasi hasil terbaik.


4.6 Model Pembelajaran Berorientasi NOS
    Nature Of Science (NOS) didefinisikan sebagai “hakekat pengetahuan”, yang merupakan konsep yang kompleks melibatkan filosofi, sosiologi, dan historis suatu pengetahuan. Lederman (1992)(dalam Wenning, 2006) menyebutkan NOS mengacu pada epistemologi dan sosiologi pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai cara untuk mengetahui, atau nilai dan keyakinan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah. Selanjutnya Lederman et al (2002) (dalam Wenning, 2006) menfenisikan NOS sebagai pemahaman terhadap karakteristik pengetahuan ilmiah yang berurusan dengan sifat empirisnya, sifat kreatif dan imajinatifnya, karakteristik teorinya, hakekat sosial-budayanya, dan sifat tentatifnya. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa NOS mencakup tiga hal, (1) ontologi, yaitu pengetahuan sebagai bidang ilmu yang mengkaji artikulasi, sosiologi, dan historisnya, (2) epistemologi, yaitu pengetahuan sebagai cara untuk meraih pemahaman (understanding), wawasan (insight), dan kearifan (wisdom), (3) aksiologi, yaitu pengetahuan yang lebih menitik beratkan pada manfaat pengetahuan tersebut bagi masyarakat dan lingkungannya. Jadi, NOS merupakan jembatan bagi para pebelajar untuk mengungkap dan memahami realitas alam. Pemahaman terhadap realitas alam sangat dibutuhkan bagi pebelajar dalam rangka memahami jati diri dan membangkitkan kesadaran untuk mencintai alam beserta isinya.
    Menurut Wenning (2006), pembelajaran berorientasi NOS memiliki enam langkah utama, yaitu: (1) background readings, (2) case study discussions, (3) inquiry lessons, (4) inquiry labs, (5) historical studies, (6) multiple assessments.
Background readings. Pada langkah ini, pebelajar diarahkan membaca buku dan/atau artikel dan membuat laporan bab atau tema tertentu, sehingga mereka dapat menyusun latar belakang pembelajaran yang akan dilakukan. Buku dan/atau artikel yang dibaca oleh pebelajar diupayakan agar sesuai dengan karakteristik pengetahuan yang dipelajari. Aktivitas pebelajar yang perlu diases adalah: ketepatan buku dan/atau artikel yang dijadikan sumber belajar, sistematika latar belakang pembelajaran, ketepatan rumusan masalah pembelajaran, tujuan pembelajaran.
    Case study discussions. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan, guru menyediakan ruang diskusi untuk melayani pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan oleh pebelajar, langkah pembelajaran yang akan dilakukan, atau memprediksi pemecahan terhadap kemungkinan hambatan belajar pebelajar. Aktivitas belajar pebelajar yang perlu diases adalah kulitas dan kuantitas pertanyaan yang diajukan, kualitas dan kuantitas penjelasan yang diungkapkan.
    Inquiry lessons. Pada langkah ini, guru membimbing pebelajar dalam berpikir dan memfokuskan pertanyaan, prosedur pembelajaran yang akan dilakukan, menyajikan pijakan, pemodelan, dan penjelasan seperlunya tentang penelitian ilmiah, menjelaskan cara mengatasi kemungkinan hambatan-hambatan yang akan ditemukan dalam proses pembelajaran. Aktivitas belajar pebelajar yang diases adalah kesesuaian pertanyaan pembelajaran yang diajukan, ketepatan prosedur pembelajaran yang akan dilakukan, kecermatan memprediksi masalah hambatan dan upaya pemecahan yang diajukan.
    Inquiry labs. Aktivitas ini membantu pebelajar belajar dan memahami proses dan keterampilan berpikir layaknya ilmuan dan memahami karakteristik penelitian ilmiah. Langkah ini dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dikemas dalam lembaran kerja. Indikator-indikator yang menjadi materi pertanyaan dalam lembaran kerja adalah: (a) mendorong keterlibatan mental, (b) penggunaan keterampilan berpikir tingkat tinggi, (c) mendorong pemusatan perhatian pebelajar untuk mengumpulkan dan menginterpretasi data, (d) menuntun pebelajar menemukan konsep, prinsip, dan hukum-hukum baru melalui kreasi dan kontrol sendiri melalui eksperimen, (e) mendorong pebelajar menerapkan prosedur ilmiah, (f) mendorong pebelajar berlatih membangun keterampilan proses ilmiah. Asesmen yang diterapkan dalam proses Inquiry labs adalah pre dan post labs yang memuat semua indikator yang telah disebutkan. Produk belajar akhir pebelajar dalam tahapan ini adalah mengkonstruksi laporan hasil Inquiry labs. Laporan disesuaikan dengan kaedah ilmiah, terkait dengan sistematika, teknik menulis, bahasa sajian, dan penulisan daftar pustaka. Isi laporan yang diases, adalah: kesesuain hasil lab dengan pertanyaan pembelajaran, keluasan dan kedalaman pembahasan yang diformulasikan, kesesuaian simpulan yang diformulasikan, kesesuaian saran yang diajukan.
    Historical studies. Pada tahap ini, pebelajar didorong untuk menyajikan deskripsi tentang manfaat pembelajaran yang dilakukan, tidak hanya mengenai pemahamannya terhadap NOS dan kemampuan mengungkap dan menerapkan pemahaman terhadap realitas alam, tetapi juga perkembangan sikap dan persepsi pebelajar terhadap materi yang menjadi obyek Inquiry labs. Pengalaman belajar pebelajar yang diases pada tahapan ini, adalah kemampuan mengelaborasi berbagai aspek penelitian ilmiah, kemampuan mengungkap, memahami, dan menerapkan hakekat pengetahuan yang menjadi obyek Inquiry labs, kemampuan mendeskripsikan pengetahuan dalam perspektif historis dan budaya yang berbeda.
Multiple assessments. Materi ssesmen hendaknya berorintasi pada pemahaman pebelajar terhadap NOS. Teknik-teknik asesmen yang dapat dilakukan adalah: asesmen kinerja, portofolio, dan tes (tes pilihan ganda diperluas, tes uraian terbuka model well defined, tes uraian terbuka model ill defined). Aktivitas pebelajar yang diases adalah kemampuan merencanakan, kemampuan melaksanakan, kemampuan presentasi, kemampuan melaporkan secara tertulis, kemampuan melaporkan secara lisan, pembuatan jurnal berkala, fokus pemahaman terhadap NOS, sikap dan persepsi pebelajar terhadap pelajaran dan model pembelajaran yang diterapkan. Untuk meminimisasi subyektivitas penilaian, ssesmen hendaknya dilengkapi dengan rubrik, sehingga mampu menilai pebelajar secara lebih akurat.

4.7 Model Pembelajaran Tematik
Siswa sekolah dasar, terutama kelas-kelas rendah mereka berada pada taraf perkembangan operasi kongkrit, artinya mereka belum mampu melihat dunia mereka secara menyeluruh dan belum dapat memisahkan bahan kajian yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu, pembelajaran tematik sangat tepat diterapkan di SD, lebih-lebih di kelas-kelas awal. Pembelajaran tematik harus menggunakan tema sebagai payung untuk mengaitkan beberapa konsep.
Pembelajaran tematik merupakan salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Karena itu, kebermaknaan pembelajaran sangat besar harapannya untuk bisa dicapai. Pembelajaran bermakna akan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah dan tentunya hasil pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Dalam pembelajaran berpusat pada siswa, cara berpikir siswa sangat diperhatikan, siswa sendiri yang aktif membangun pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki.
Menurut Piaget, usia SD yang masih berada pada tahapan operasi kongkrit sangat memerlukan objek-objek kongkrit sebagai pijakan untuk memandu belajarnya. Objek-objek kongkrit yang ada di lingkungan mereka atau benda-benda artifisial dapat digunakan sebagai fasilitas belajar terpadu. Benda-benda tersebut merupakan objek anak untuk bermain dan merangsang rasa ingin tahunya secara optimal. Rasa ingin tahu yang bangkit melalui proses bermain dapat merangsang mereka untuk mengekspresikan dunia dan membangkitkan kompetensi pemecahan masalah.
Alasan-alasan lain yang mendasari pembelajaran teematik adalah sebagai berikut.
  1. Pendekatan tema merupakan pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai bidang studi yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling dan dalam rentang kemampuan dan perkembangan anak
  2. Pembelajaran tematik merupakan salah satu cara untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak melalui simulasi
  3. Pembelajaran tematik akan memfasilitasi anak untuk mampu merakit atau mengembangkan sejumlah konsep dalam beberapa bidang studi yang berbeda, yang memungkinkan anak dapat belajar lebih baik dan bermakna.

    Pembelajaran tematik merupakan suatu model pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalam intera mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Dengan adanya pemaduan ini, pebelajar akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh, sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi pebelajar. Pembelajaran dengan model inquiry juga menyebutkan bahwa pembelajaran tematik berpusat pada pebelajar. Dalam pembelajaran ini, pebelajar menjadi aktif belajar mengembangkan keterampilan intelektual, berpikir kritis, dan mampu memecahkan masalah secara ilmiah.
    Teori Ausubel yang menyatakan bahwa belajar bermakna terjadi apabila pembelajaran mampu mengubah suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Di samping itu, pembelajaran akan lebih efektif apabila kegiatan belajar sesuai dengan perkembangan intelektual pebelajar. Oleh sebab itu, guru perlu mengenal setiap anak didik dan bakat-bakat khusus yang mereka miliki agar dapat memberikan pengalaman pendidikan yang dibutuhkan oleh masing-masing pebelajar untuk mengembangkan bakat-bakat mereka secara optimal sesuai dengan tujuan pendidikan.
    Konsep bermakna dalam konteks pembelajaran mengandung arti bahwa pada pembelajaran terpadu pebelajar akan dapat memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengelaman langsung dan nyata yang menghubungkan antar konsep dalam intera mata pelajaran atau antar mata pelajaran.
Pembelajaran terpadu dapat dilaksanakan dengan dua cara: (1) memadukan pebelajar dan (2) memadukan materi-materi dari berbagai mata pelajaran. Cara pertama, memadukan beberapa kelas menjadi satu. Kegiatan pembelajaran diikuti oleh lebih dari satu tingkat usia pebelajar. Misalnya pebelajar kelas I dan II SD diajar matematika bersama-sama. Cara ini tentu memerlukan keahlian guru dalam memberikan tugas yang bertingkat, sehingga pebelajar belajar dari mulai yang mudah menuju ke tingkat yang lebih sulit. Pebelajar kelas I dapat belajar dari pebelajar yang lebih tua dan lebih pengetahuannya, sedangkan pebelajar yang lebih tua dapat mengajarkan pengetahuannya kepada pebelajar yang lebih muda.
Cara yang kedua, yaitu memadukan materi dari beberapa mata pelajaran dalam satu kesatuan kegiatan pembelajaran. Dalam satu kegiatan pembelajaran, pebelajar belajar berbagai mata pelajaran. Misalnya maematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia. Cara ini biasanya dilakukan dengan memadukan topik-topik atau tema-tema menjadi satu kesatuan tema yang disebut tematik inti. Tematik unit merupakan rangkaian tema yang dikembangkan dari suatu tema dasar, sedangkan tema dasar merupakan pilihan atau kesepakatan antara guru dengan pebelajar berdasarkan kajian keseharian yang dialami pebelajar dengan penyesuaian dari materi-materi yang ada pada kurikulum. Selanjutnya tema dasar tersebut dikembangkan menjadi banyak tema yang disebut unit tema atau sub tema.

Tujuan pembelajaran tematik, adalah 
(1) meningkatkan pemahaman konsep yang dipelajarinya secara lebih bermakna, (2) mengembangkan keterampilan inkuiri, mengolah dan memanfaatkan informasi, (3) menumbuhkembangkan sikap positif, kebiasaan baik, dan nilai-nilai luhur yang diperlukan dalam kehidupan, (d) menumbuhkembangkan keterampilan sosial, seperti kerja sama, toleransi, komunikasi, secara menghargai pendapat orang lain, (e) meningkatkan gairah dalam belajar, dan (f) memilih kegiatan yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya.

Manfaat pembelajaran tematik, adalah 
(1) banyak topik-topik yang tertuang pada setiap mata pelajaran memiliki keterkaitan konsep dengan yang dipelajari pebelajar, 
(2) pada pembelajaran tematik memungkinkan pebelajar memanfaatkan keterampilannya yang dikembangkan dari mempelajari keterkaitan antara mata pelajaran, 
(3) pembelajaran tematik melatih pebelajar untuk semakin banyak membuat hubungan inter dan antar mata pelajaran, sehingga pebelajar mampu memproses informasi dengan cara yang sesuai dengan daya pikirnya dan memungkinkan berkembangnya jaringan konsep, 
(4) pembelajaran tematik membantu pebelajar dapat memecahkan masalah dan berpikir kritis untuk dapat dikembangkan melalui keterampilan dalam situasi nyata, (5) daya ingat atau retensi terhadap materi yang dipelajari pebelajar dapat ditingkatkan dengan jalan memberikan topik-topik dalam berbagai ragam situasi dan kondisi, 
(6) dalam pembelajaran tematik, transfer pembelajaran dapat mudah terjadi ketika situasi pembelajaran dekat dengan situasi kehidupan nyata.
Ketika anak dihadapkan pada tema “binatang”, salah satunya anak bisa teringat pada sapi. Sapi merupakan objek penyelidikan bagi anak untuk dipelajari tentang berbagai hal yang berkaitan dengan sapi itu sendiri. Berbagai hal yang dimaksud, bisa berkaitan dengan bidang studi matematika, bahasa Indonesia, ilmu sosial, sains, kesenian.

Dalam matematika misalnya, anak bisa menghitung jumlah kakinya, jumlah matanya, jumlah kupingnya. Dalam bidang bahasa Indonesia, anak bias belajar tentang cara membuat kata-kata “sapi”, membuat kalimat tentang “sapi adalah binatang menyusui”, atau siswa diajak berceritera tentang sapi. Dalam sains, anak diajak berpikir tentang manfaat sapi “dapat menolong petani ketika digunakan untuk menarik bajak”, “dagingnya dapat dimakan”, anak bisa belajar tentang kesehatan sapi, bahwa setiap bulan sapi harus diperiksakan kesehatannya. Dalam ilmu sosial, anak diajak untuk berpikir tentang letak geografi peternakan sapi. Dalam bidang seni, sapi dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk dilukis, ditayangkan, dipamerkan, dan sebagainya. Jadi, tentang tema sapi, anak dapat belajar berbagai bidang kajian, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 02.

Oleh karena dalam pembelajaran, beberapa mata pelajaran dapat dikaitkan dalam satu payung pembelajaran, maka pembelajaran tematik disebut pula pembelajaran terpadu. Payung itu merupakan suatu tema yang dipelajari anak. Pembelajaran seperti ini dapat diterapkan pada pembelajaran di kelas untuk berbagai jenjang. Teori yang mendasarinya, bahwa pada umur-umur sekolah dasar, terutama kelas-kelas rendah, anak-anak masih tingkat berpikirnya holistik. Justru cara berpikir demikian perlu dibangkitkan agar anak tidak terbiasa berpikir terkotak-kotak, kecuali untuk kondisi-kondisi tertentu.
Oleh karena dalam pembelajaran, beberapa mata pelajaran dapat dikaitkan dalam satu payung pembelajaran, maka pembelajaran tematik disebut pula pembelajaran terpadu. Payung itu merupakan suatu tema yang dipelajari anak. Pembelajaran seperti ini dapat diterapkan pada pembelajaran di kelas untuk berbagai jenjang. Teori yang mendasarinya, bahwa pada umur-umur sekolah dasar, terutama kelas-kelas rendah, anak-anak masih tingkat berpikirnya holistik. Justru cara berpikir demikian perlu dibangkitkan agar anak tidak terbiasa berpikir terkotak-kotak, kecuali untuk kondisi-kondisi tertentu.
Pembelajaran tematik (terpadu) melibatkan konsep-konsep baik dalam satu bidang studi maupun lintas bidang studi. Pelaksanaan pembelajaran terpadu bertolak dari suatu topik atau tema sebagai payung untuk mengaitkan konsep-konsepnya. Tema sentral hendaknya diambil dari kehidupan sehari-hari yang menarik dan menantang kehidupan anak-anak sekaligus untuk memicu minat anak belajar mereka. Fogarty & McTighe (1993) menyatakan bahwa tema sentral harus ”fertile”, artinya cakupannya luas dan memberi pengalaman bagi siswa untuk belajar selanjutnya. Tujuan tema tersebut bukan untuk literasi bidang studi, akan tetapi konsep-konsep dari bidang studi terkait dijadikan alat dan wahana untuk mempelajari dan menjelajahi topik atau tema tersebut.
Untuk lebih memahami konsep dan prinsip pembelajaran tematik, alangkah baiknya jika kita mengenal ciri-cirinya. Ciri-ciri pembelajaran tematik adalah sebagai berikut.
  1. Holistik, suatu peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran terpadu dikaji dari beberapa bidang studi sekaligus untuk memahami suatu fenomena dari segala isi.
  2. Bermakna, keterkaitan antara konsep-konsep akan menambah kebermaknaan konsep yang dipelajari oleh siswa, sehingga mereka akan mampu menerapkan perolehan belajarnya untuk memecahkan masalah-masalah yang nyata dalam kehidupannya.
  3. Aktif, pembelajaran terpadu dikembangkan melalui pendekatan discoveri inkuiri (penelitian). Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran yang secara tidak langsung dapat memotivasi siswa untuk belajar.

Di samping harus mamahami cirri-cirinya, kita juga harus memiliki prinsip dalam menggali tema. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk memadukan banyak bidang studi
  2. Tema harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis anak
  3. Tema juga harus mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar
  4. Tema harus bermakna, artinya tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan pengalaman bagi siswa untuk belajar selanjutnya.

Evaluasi yang menggunakan tes bentuk formal dimaksudkan untuk menentukan sejauh mana anak telah menghafal suatu fakta. Pembelajaran yang efektif sebaiknya menekankan pemahaman konsep dan kemampuan di bidang kognitif, keterampilan, sosial, dan afektif (sikap). Beberapa alternatif evaluasi pembelajaran terpadu, adalah sebagai berikut.
  1. Sebaiknya berbasis unjuk kerja, sehingga selain memanfaatkan penilaian produk, penilaian terhadap proses perlu mendapat perhatian yang lebih besar.
  2. Setiap langkah evaluasi hendaknya siswa dilibatkan
  3. Evaluasi dilakukan secara terus menerus. Oleh karena itu hendaknya dimanfaatkan asesmen portofolio.
  4. Penilaian pembelajaran terpadu hendaknya memandang siswa sebagai satu kesatuan yang utuh.
  5. Evaluasi hendaknya bersifat komprehensif dan sistematis.

Model pembelajaran tematik dapat dilaksanakan dalam empat fase. (
1) Fase 1: menyampaikan tujuan pembelajaran. Dalam fase ini, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan pebelajar untuk belajar. (2) Fase 2: Apersepsi. Dalam fase ini, guru mengajukan pertanyaan tentang bahan pelajaran yang telah dipelajari sebelumnya. 
(3) Fase 3: Pembahasan Tema. Guru bersama pebelajar membahas tema yang telah disepakati bersama (yang lebih dominan berperan adalah pebelajar), sedangkan guru lebih memposisikan diri sebagai fasilitator. 
Fase 4: Melaksanakan Tindak Lanjut Pembelajaran dengan Pemberian Tugas. Dalam fase ini, guru mempersiapkan fasilitas atau tugas yang harus dikerjakan oleh pebelajar dan mempersiapkan materi yang akan dijelaskan pada pertemuan berikutnya.


4.8 Model Pembelajaran dengan Pendekatan Lingkungan
Dalam kurikulum berbasis kompetensi, yang sekarang ditegaskan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dinyatakan perlunya melakukan integrasi pengetahuan dan sikap tentang lingkungan hidup yang disesuaikan dengan pelajaran yang relevan dan perkembangan kemampuan peserta didik.
Konsep dan keterampilan dalam KTSP mata pelajaran sains yang harus dicapai meliputi di antaranya adalah mampu menerjemahkan prilaku alam tentang diri dan lingkungan di sekitar rumah dan sekolah.
Model pembelajaran dengan pendekatan lingkungan adalah suatu strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran belajar, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan dan untuk menanamkan sikap cinta lingkungan.
Anak usia sekolah dasar memiliki rasa ingin tahu yang besar, melakukan eksplorasi (Joice & Weil, 1987), dan menanggapi rangsangan yang diterima oleh panca inderanya. Kecenderungan siswa sekolah dasar yang senang bermain dan bergerak menyebabkan anak-anak lebih menyukai belajar lewat eksplorasi dan penyelidikan di luar ruang kelas (Yuliariatiningsih, 2000).
Menurut Piaget (dalam Prayitno, 1992), perkembangan interaksi anak dengan objek-objek lingkungan mereka mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap berpikir anak dibandingkan yang ditimbulkan oleh pengetahuan yang disampaikan melalui cerita yang bersifat verbal. Jadi, membawa anak ke lingkungan asli dari objek yang diamati dapat menunjang perkembangan berpikirnya.
Belajar berarti aktif secara baik fisik maupun mental. Lingkugan dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk merangsang dan menarik perhatian siswa. Objek-objek yang bergerak selalu menjadi perhatian anak-anak, misalnya tentang ikan di aquarium, belut atau kodok di parit. Menurut teori belajar Gagne (Dahar, 1989), lingkungan mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan konsep, karena peranannya sebagai stimulus untuk terjadinya suatu respon. Pembentukan sikap dan pengembangan keterampilan siswa dapat juga terjadi karena interaksinya dengan lingkungan. Bloom & Bruner (dalam Darmodjo & Kaligis, 1994), bahwa lingkungan akan memfasilitasi siswa pada situasi yang lebih konkrit dan akan memberikan dampak peningkatn apresasi siswa terhadap konsep-konsep sains dan lingkungannya.
Kurikulum pendidikan dasar menghendaki agar dalam proses belajar mengajar hendaknya dimulai dari yang dekat ke yang jauh, dari yang sudah diketahui ke yang belum diketahui. Lingkungan tempat tinggal maupun lingkungn sekolah adalah tempat keseharian anak, dengan demikian bila pembelajaran dimulai dari lingkungannya maka akan menjadi lebih bermakna.
Lingkungan dapat pula digunakan untuk pengembangan keterampilan proses sains seperti mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, dan sebagainya. Sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, berpikir bebas, menghadapi pendapat orang lain dan dapat bekerja sama dapat pula dikembangkan melalui pengeksplorasian lingkungan yang dilakukan secara bersama-sama. Dengan mengeksplorasi lingkungan berarti memberi peluang kepada anak untuk membangkitkan sikap peduli dan mencintai lingkungan. Jadi gunakanlah lingkungan untuk pengayaan bagi anak-anak yang cerdas sebagai tambahan dengan memanfaatkan lingkungan.
Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan lingkungan adalah sebagai berikut.

  1. Guru mengajak siswa untuk mencermati benda model dan benda asli dan mempertanyakan kepada mereka tentang perbedaan antara benda model dan benda asli.
  2. Siswa menuliskan pendapatnya tentang perbedaan benda model dan benda asli yang diperlihatkan oleh guru.
  3. Guru membimbing siswa membentuk kelompok 3-4 orang dan mengajak mereka untuk melakukan penyelidikan di lingkungan.
  4. Siswa dalam kelompok melakukan penyedikan dan mengisi LKS yang diberikan guru.
  5. Setelah selesai melakukan penyelidikan, guru mengajak siswa kembali ke kelas.
  6. Di kelas, siswa mendiskusikan hasil penyelidikannya, menyamakan persepsi, dan menarik kesimpulan.
  7. Jika dalam diskusi tersebut, terdapat data yang belum lengkap atau kurang tepat, siswa dalam kelompok diajak lagi untuk melakukan penyelidikan.
  8. Guru mengajak siswa untuk membandingkan hasil diskusi kelas dengan jawaban mereka sebelum pembelajaran.
  9. Guru dan siswa menyamakan persepsi dan menarik kesimpulan akhir.
  10. Guru menugaskan siswa untuk mengerjakan LKS sebagai tindak lanjut pembelajaran yang telah dilakukan.
4.9 Model Pembelajaran Kooperatif

Latar Belakang. Kurikulum bidang studi yang padat dan kompleks mestinya secara tidak langsung menggiring para guru untuk kreatif dan antisifatif terhadap keefektifan akan pembelajarannya di sekolah. Hal ini dapat dilakukan mulai dari pengemasan rancangan pembelajaran hingga implementasinya di kelas. Terdapat semacam sinyalmen di lapangan bahwa pengemasan rancangan pembelajaran dan implementasinya di kelas dewasa ini masih belum banyak memperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap hasil pembelajaran. Sebagai konsekuensinya, produk pengajaran sampai saat ini selalu menjadi sorotan baik oleh para praktisi maupun para teoritisi pendidikan. Mereka mensinyalir bahwa produk pendidikan yang antara lain diwakili oleh hasil belajar para pebelajar di sekolah masih berkategori rendah baik kualitas maupun kuantitasnya.
Produk pendidikan tidak terlepas dari proses pendidikan itu sendiri, mulai dari pengemasan rancangannya hingga implementasinya dalam lapangan yang sesungguhnya. Apabila disempitkan pada konteks belajar dan pembelajaran di bangku pendidikan formal, maka hasil belajar peserta didik merupakan salah satu produk pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengemasan rancangan pembelajaran dan implementasinya di kelas merupakan dua indikator mutu hasil belajar peserta didik.
Pengemasan pembelajaran dewasa ini sering berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak sejalan dengan hakikat belajar, hakikat orang yang belajar, dan hakikat orang yang mengajar. Dunia belajar didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakikat belajar dan pembelajaran secara komprehensif, lebih-lebih dalam menghadapi abad ke-21 yang sering disebut sebagai abad pengetahuan (the knowledge age). Pada abad ini, kehidupan menuntut kemampuan memecahkan masalah baru secara inovatif, pola prilaku yang unik dan divergen, dan kemampuan kerjasama yang bersinergi dengan sesamanya. Namun kemasan pembelajaran selama ini belum sepenuhnya mengarah kepada kemampuan-kemampuan yang diharapkan tersebut. Kemasan pembelajaran yang sering ditemukan hanya menitik beratkan pada tuntutan kemampuan hafalan, memecahkan masalah lama, penanaman pola prilaku yang konfronmistis dan seragam dengan pola pengajaran bernuansa kompetitif dan persaingan. Pola kemasan semacam itu hanya mengagungkan pada pembentukan pola prilaku keseragaman, dengan harapan akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan, dan kepastian. Kemasan pembelajaran yang kebanyakan bernuansa mengatur kebebasan peserta didik akan menyebabkan mereka selalu diliputi rasa takut, mereka akan kehilangan kebebasan berbuat dan melakukan kontrol diri, dan oleh karena mereka selalu berada pada situasi ketakutan, maka mereka akan mengembangkan pertahanan diri. Lewat kemasan pembelajaran yang seperti itu, yang dipelajari mereka bukanlah pesan-pesan pembelajar-an, tetapi cara-cara untuk mempertahankan diri, yang pada akhirnya mereka akan tidak mengalami growth in learning, tetapi sering menyembunyikan ketidakmampuannya.
Sebagai konsekuensi suasana pembelajaran yang bernuansa kompetitif adalah kemungkinan berlakunya hukum rimba dan sangat merugikan pebelajar yang kemampuan akademiknya rendah. Bagi pebelajar yang kurang mampu tersebut, suasana kompetitif sangat mengurangi motivasi belajarnya dan senantiasa menjadi siksaan psikologis mereka. Para pebelajar memasuki ruangan kelas memiliki latar belakang kemampuan dan pengetahuan yang hiterogen. Pebelajar yang memiliki kemampuan rendah tentu pula memiliki prerequisites yang kurang untuk mempelajari materi baru. Ini berarti bahwa banyak pebelajar sulit untuk berhasil sementara yang lain sangat mudah meraih kesuksesan akademik. Dalam kegiatan-kegiatan akademik, pebelajar yang kurang mampu ini selalu berada pada urutan terbawah, selalu memperoleh feedback negatif, dan tidak akan pernah meraih kesuksesan. Sebagai akibatnya, mereka sering memuncul-kan aktivitas-aktivitas membela diri yang berbau antisosial yang akhirnya bermuara pada munculnya prilaku-prilaku negatif. Oleh sebab itu, para guru hendaknya menghindari dan mengantisipasi agar tidak memunculkan suasana kompetitif dalam pembelajaran, tetapi perlu menciptakan suasana kelas yang penuh toleransi, membuat pebelajar saling membantu satu sama lain, dan memfasilitasi mereka agar dapat sukses bersama secara akademik. Ini berarti perlunya rancangan pembelajaran yang bernuansa kolaborasi. Apabila suatu kemasan pembelajaran lebih menitik beratkan pada aspek kolaboratif, maka konsep keseragaman hendaknya ditinggalkan dan mulailah dengan babak baru yaitu menghargai segala bentuk keragaman peserta didik. Dalam belajar, potensi keragaman peserta didik akan menghasilkan sinergi yang pada akhirnya bermuara pada produk yang optimal.
Salah satu kemasan pembelajaran yang memiliki aspek kolaborasi adalah kemasan pembelajaran berorientasi pembelajaran kooperatif.
Untuk pebelajar yang memiliki kemampuan akademik rendah, manfaat belajar kooperatif adalah: 
(1) meningkatkan pencurahan waktu pada tugas,
(2) meningkatkan harga diri,
(3) memperbaiki sikap pebelajar terhadap IPA karena terbiasa debat seperti ilmuwan, 
(4) meningkatkan frekuensi kehadiran, 
(5) mengurangi angka putus sekolah,
(6) penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar, 
(7) mengurangi prilaku-prilaku mengganggu, 
(8) mengurangi konflik antar pribadi, 
(9) mengurangi sikap apatis, 
(10) meningkatkan pemahaman, 
(11) meningkatkan motivasi, 
(12) meningkatkan hasil belajar, 
(13) retensi atau penyimpanan lebih lama, 
(14) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi.

Pembelajaran Kooperatif sebagai Soft Technology. Perspektif psikologi sosial tentang pembelajaran lebih melihat pada pengaruh-pengaruh organisasi sosial kelas pada pembelajaran. Organisasi sosial kelas pada pembelajaran dapat dilihat dari tiga struktur (Heinich, et al., 2002). Pertama, struktur pengelompokan kelas, yang meliputi sruktur pembelajaran bebas, struktur kelompok-kelompok kecil, dan struktur kelas keseluruhan. Masing-masing struktur pengelompokan tersebut memiliki karakter yang khas yang akan mewarnai proses belajar dan mengajar. Kedua, struktur otoritas, lebih menekankan seberapa banyak guru melakukan pengendalian terhadap segala aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh pebelajar. Besar kecilnya kadar keterlibatan guru dalam proses pembelajaran ditentukan oleh kebutuhan akan pembelajaran yang tentunya akan mewarnai kualitas proses pembelajaran. Ketiga, struktur penghargaan, secara umum dapat dibedakan atas struktur penghargaan individualistik, kompetitif, dan kooperatif. Dalam kerangka organisasi sosial kelas, struktur penghargaan koope-ratif memiliki posisi paling strategis. Pembelajaran kooperatif lebih efektif dan bermanfaat secara sosial ketimbang pembelajaran kompetitif dan individualistik (Slavin, 1995).
Dari tiga struktur kelas yang diungkapkan oleh Heinich tersebut, struktur penghargaan merupakan ide yang sama dengan yang dikemukakan oleh Arends (1998). Dia juga mengungkapkan dua struktur yang lain, yaitu tugas dan tujuan. Struktur tugas mengacu pada dua hal, cara pengorganisasian pembelajaran dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh pebelajar di dalam kelas. Struktur tujuan suatu pelajaran adalah jumlah saling ketergantungan yang dibutuhkan pebelajar dalam mengerjakan tugas-tugas mereka. Dalam strutur tujuan individualistik, para pebelajar mengatakan “me alone” dan merasakan tidak memiliki ketergantungan pada pebelajar lain dalam rangka mencapai tujuan. Dalam struktur tujuan kompetitif, pebelajar mengatakan “me instead of you”. Dalam mencapai tujuan komptetitif, pebelajar lebih didorong oleh keinginan bersaing. Dalam pembelajaran kompetitif, pebelajar dapat mencapai suatu tujuan jika pebelajar lain tidak mencapai tujuan tersebut. Struktur tujuan kooperatif dicirikan oleh jumlah saling ketergantungan yang begitu besar antar pebelajar dalam kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif, pebelajar mengatakan “we as well as you”, dan siwa akan mencapai tujuan hanya jika pebelajar lain dalam kelompok yang sama dapat mencapai tujuan mereka bersama.
Kesuksesan dalam praktek-praktek pembelajaran memiliki sifat-sifat yang didukung oleh perspektif-perspektif yang bervariasi. Pertama, partisipasi aktif pebelajar. Pembelajaran efektif terjadi apabila para pebelajar secara aktif terlibat dalam tugas-tugas yang bermakna dan aktif terlibat dalam berinteraksi dengan isi pelajaran. Kedua, praktek. Dalam konteks-konteks yang bervariasi, praktek dapat memperbaiki retensi dan kemampuan menerapkan pengetahuan baru, keterampilan, dan sikap. Ketiga, perbedaan-perbedaan individu. Metode pembelajaran dikatakan efektif apabila dapat mengatasi perbedaan-perebedaan individu dalam hal personalitas, bakat umum, pengetahuan awal pebelajar. Keempat, balikan. Balikan sangat diperlukan untuk menentukan posisi diri pebelajar sendiri tentang tugas yang dikerjakan. Kelima, konteks-konteks realistik. Para pebelajar paling mudah mengingat dan menerapkan pengetahuan yang direpresentasikan dalam suatu konteks dunia nyata. Keenam, interaksi sosial. Melayani kemanusiaan sebagai tutor atau anggota-anggota kelompok teman sebaya dapat menyediakan sejumlah pedagogik dan juga dukungan-dukungan sosial.
Pembelajaran kooperatif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction), pembelajaran kooperatif melibatkan partisipasi aktif para pebelajar dan meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kooperatif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, (1) realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas-aktivitas dan keterampilan kolaboratif dalam tim di tempat kerja hingga dalam kedupan sosial setiap hari; (2) suatu pertumbuhan kesadaran mengenai nilai interaksi sosial dalam mewujudkan pembelajaran bermakna.
Pembelajaran kooperatif sebagai soft technology—teknologi sebagai proses, adalah cara-cara atau proses-proses untuk memecahkan masalah pembelajaran, memiliki seperangkat prosedur, landasan operasional yang fleksibel, dan telah mengalami pengusutan secara berkelanjutan dalam praktek-praktek penbelajaran di luar negeri.
Unsur-Unsur Dasar Pembelajaran Kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi pembelajaran yang terstruktur dan sistematis, di mana kelompok-kelompok kecil bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran yang melibatkan kelompok-kelompok kecil yang hiterogen dan pebelajar bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan dan tugas-tugas akademik bersama, sementara sambil bekerja sama para pebelajar belajar keterampilan-keterampilan kolaboratif dan sosial. Anggota-anggota kelompok adalah saling ketergantungan, yaitu saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama.
Berdasarkan definisi pembelajaran kooperatif tersebut, terdapat unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif, yaitu: kerja sama, kelompok-kelompok hiterogen, keterampilan kolaboratif, saling ketergantungan. 
Oleh sebab itu, dapat ditetapkan lima unsur dasar pembelajaran koperatif, yaitu
(1) saling ketergantungan secara positif,
(2) tanggung jawab individu, 
(3) interaksi tatap muka, 
(4) keterampilan-keterampilan kolaboratif, dan 
(5) pemrosesan interaksi-interaksi kelompok. 

Jacobs et al. (1996) juga mengemukakan lima unsur dasar pembelajaran kooperatif, yaitu: 
(1) saling ketergantungan secara positif, 
(2) tanggung jawab individu, 
(3) pengelompokan secara hiterogen, 
(4) keterampilan-keterampilan kolaboratif, dan 
(5) pemrosesan interaksi kelompok. 

Dari kedua pendapat tentang unsur-unsur pembelajaran kooperatif tersebut, terdapat empat unsur yang sama dan satu unsur yang berbeda. Unsur-unsur yang berbeda adalah interaksi tatap muka dengan unsur pengelompokan secara hiterogen. Oleh sebab itu, akan diuraikan secara ringkas enam unsur dasar pembelajaran kooperatif.

(a) Saling ketergantungan secara positif. 
 Saling ketergantungan secara positif adalah perasaan antar kelompok pebelajar untuk membantu setiap orang dalam kelompok tersebut. Saling ketergantungan secara positif berarti bahwa anggota-anggota kelompok merasakan bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”. Cara-cara mempromosikan saling ketergantungan secara positif dalam kelompok meliputi: tujuan, penghargaan, peranan, sumber, dan identitas. Secara ringkas, masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
Saling ketergantungan tujuan secara positif muncul apabila kelompok membagi tujuan bersama. Saling ketergantungan penghargaan secara positif muncul apabila masing-masing penghargaan anggota kelompok digunakan oleh anggota-anggota yang lain dalam kelompok mereka. Contoh, masing-masing pebelajar dapat memperoleh bonus jika setiap orang dalam kelompok mereka memperoleh skor di atas 80% pada suatu tes. Atau, setiap orang dalam suatu kelompok dapat memperoleh waktu istirahat ekstra jika projek kelompok mereka dikerjakan secara memuaskan. Penghargaan tersebut bergantung pada apakah ada motivasi kelas secara khusus dan filosofi guru pada penghargaan.
Saling ketergantungan peranan secara positif berarti bahwa anggota-anggota ditugasi secara komplementer dan saling berbagi tanggung jawab dalam meleng-kapi suatu tugas. Peranan ini akan bergilir, apakah untuk sebuah aktivitas atau untuk aktivitas-aktivitas berbeda. Contoh, dalam suatu kelompok tiga yang memba-ca sebuah unit buku, satu orang dapat berfungsi sebagai peringkas masing-masing seksi dari unit tersebut, yang lain dapat berfungsi sebagai pemeriksa yang menge-cek keakuratan ringkasan, dan yang ketiga dapat berfungsi sebagai elaborator yang memberikan contoh-contoh atau mengaitkan materi untuk apa anggota kelompok mengetahui.
Saling ketergantungan sumber secara positif berarti bahwa anggota hanya memiliki suatu porsi informasi, materi, atau alat-alat yang diperlukan untuk melengkapi suatu tugas. Aktivitas-aktivitas Jigsaw adalah sebuah contoh saling ketergantungan sumber secara positif, karena dalam masing-masing home team tidak seorangpun dapat memperoleh semua informasi secara lengkap; masing-masing akan memperoleh potongan-potongan informasi dengan persepsi berbeda. Jadi, pebelajar perlu membagi sumber agar berhasil memecahkan masalah. Contoh lain, suatu eksperimen di laboratorium anggota kelompok berbeda memiliki perangkat-perangkat peralatan yang berbeda.
Saling ketergantungan identitas secara positif berarti bahwa kelompok tersebut membagi suatu identitas umum. Hal ini dapat didorong oleh pebelajar untuk memilih nama kelompok, bendera, motto, jabat tangan, dan sebagainya. Negara, perkumpulan, kelompok olahraga, dan sekolah-sekolah menggunakan ini dan cara lain untuk mencoba menciptakan suatu pembagian identitas antar negara, anggota, pebelajar, dan staf mereka.

(b) Tanggung jawab individu. 
Satu hal yang paling umum bagi pebelajar bekerja dalam kelompok adalah bahwa beberapa anggota kelompok akan mengakhiri semua pekerjaan dan semua pembelajaran. Hal ini dapat terjadi karena beberapa pebelajar mencoba menghindari bekerja atau karena yang lain ingin mengerjakan segala-galanya. Jadi, mendorong setiap orang dalam kelompok untuk berpartisipasi dan belajar adalah suatu unsur yang sangat real. Untuk melakukan hal ini kita memerlukan setiap orang merasakan bertanggung jawab secara individual untuk keberhasilan kelompok mereka.
Terdapat banyak cara menstrukturisasi aktivitas-aktivitas kelompok untuk memajukan rasa tanggung jawan individual tersebut, antara lain:
  1. Masing-masing pebelajar secara individual mengerjakan kuis, melengkapi tugas, atau membuat ringkasan tentang materi yang dipelajari
  2. Anggota-anggota kelompok dipanggil secara random untuk menjawab pertanyaan dan/atau untuk menjelaskan jawabannya.
  3. Masing-masing anggota kelompok memiliki suatu peranan yang telah diran-cang untuk mereka tampilkan. Peranan ini bisa bergilir. Contoh, suatu pelajaran dapat dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil. Anggota pasangan masing-masing membaca bagian pertama secara diam. Kemudian, satu orang meringkas bagian tersebut dan yang lain menyusun pertalian antara bagian yang satu dengan materi yang lain yang dipelajari di kelas atau dengan aspek-aspek kehidupan mereka. Peranan ini bergilir pada bagian materi selanjutnya untuk bacaan tersebut.
  4. Masing-masing anggota utamanya bertanggung jawab untuk satu bagian proyek kelompok mereka. Contoh, jika kelompok membuat laporan tentang Korea, satu anggota menulis bagian sejarahnya, yang lain menulis struktur geografi-nya, yang lain menelusuri bidang seninya, dan anggota keempat menulis latar belakang ekonominya.

(c) Pengelompokkan secara hiterogen. 
Beberapa pakar pembelajaran kooperatif merekomendasikan bahwa penge-lompokkan para pebelajar secara hiterogen menurut prestasi, kecerdasan, etnik, dan jenis kelamin dapat dilakukan oleh guru. Mencampurkan pebelajar berdasarkan prestasi didorong untuk mempromosikan pentutoran teman sebaya, menyediakan pebelajar yang berprestasi rendah dengan kebiasaan belajar yang baik, dan memperbaiki hubungan antar para pebelajar.
Memperbaiki hubungan juga merupakan alasan untuk mencampur para pebelajar berdasarkan etnik yang berbeda dalam kelompok yang sama. Bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama dapat membantu menghapus rintangan dan membangun persahabatan. Tambahan lagi bahwa pebelajar dari kelompok etnik yang berbeda sering membawa perspektif yang unik dalam diskusi kelompok. Pengkombinasian perspektif ini juga merupakan suatu rasional untuk mencampur pebelajar berdasarkan jenis kelamin. Hasil keanekaragaman perspektif tersebut dapat memperkaya pemikiran para pebelajar.
Biasanya, pengelompokkan secara hiterogen paling baik tercapai oleh pili-han guru siapa yang akan berada pada kelompok yang mana. Apabila para pebelajar memilih teman kelompok mereka, mereka sering memilih orang yang mereka paling senangi. Hal ini dapat mengarahkan cliques (kelompok-kelompok yang tidak sehat) dan faktor-faktor lain yang bekerja menentang kohesivitas hubungan kelas.

(d) Keterampilan-keterampilan kolaboratif.
Pertama-tama kebanyakan para guru menanyakan para pebelajarnya untuk belajar dalam kelompok, hal itu segera menjadi jelas bahwa pebelajar kurang memiliki keterampilan-keterampilan untuk bekerja secara efektif berkaitan dengan konten akademik. Keterampilan-keterampilan kolaboratif yang baik adalah sangat penting tidak hanya untuk sukses di luar sekolah dengan teman dan keluarga mereka, tetapi juga dalam karir.
Para guru dalam memilih suatu keterampilan kolaboratif hendaknya lebih menekankan pada kesesuaian dengan karakteristik masing-masing pelajaran. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa akan terdapat keterampilan yang sama untuk beberapa pelajaran. Terdapat enam langkah dalam mengajar keterampilan kolaboratif. Pertama, pebelajar melihat kebutuhan akan keterampilan tersebut. Ini dapat dilakukan dengan menanyakan pebelajar bagaimana keterampilan tersebut muncul dalam pengalaman mereka sendiri, dengan menjelaskan mengapa keterampilan tersebut penting di dalam dan di luar sekolah (sekarang dan yang akan datang), dan melalui penayangan kesempatan.

Kedua, pebelajar perlu suatu pemahaman yang jelas mengenai keterampilan tersebut. Satu cara untuk mencapai pemahaman ini adalah kelas tersebut mengembangkan daftar mengenai keterampilan seperti melihat dan seperti bunyi. Contoh, Ada seorang pendengar yang baik dapat seperti melihat orang ketika mereka bercakap-cakap dengan kita. Misalnya, bunyi menggunakan ekspresi seperti “uh-huh” dan “benar” sementara orang bercakap-cakap kepada kita.

Ketiga, pebelajar mungkin memerlukan praktek keterampilan kolaboratif. Ini dapat dilakukan melalui aktivitas-aktivitas seperti demonstrasi oleh guru, sandiwara peranan, dan permainan. Di sini dapat digunakan baik contoh positif maupun contoh yang negatif.

Keempat, keterampilan tersebut hendaknya dipadukan dalam aktivitas-aktivitas pembelajaran. Contoh, jika kelompok mengerjakan projek bersama, mereka dapat ditanyakan menggunakan keterampilan tersebut untuk mendorong yang lain berpartisipasi. Cara lain, adalah anggota kelompok diberikan peranan secara bergiliran berdasarkan keterampilan-keterampilan kolaboratif. Contoh, seorang pebelajar berperanan sebagai pemuji, yang lain sebagai paraphraser, yang ketiga sebagai fasilitator, dan pebelajar yang keempat sebagai penanya. Guru dapat berkeliling-keliling antar kelompok dan mengamati penggunaan keterampilan yang dirancang, dan pebelajar dapat pula mengamati diri sendiri dan anggota kelompok mereka dalam menggunakan keterampilan tersebut.

Kelima, pemrosesan interaksi kelompok adalah penting. Satu dari anggota-anggota lain dari home team pebelajar akan menjelaskan kepada pebelajar. Keenam, sekali keterampilan tersebut dipikirkan, para guru perlu mendorong pebelajar untuk tekun dalam penggunaannya. Pada mulanya, menggunakan keterampilan tersebut mungkin kelihatan aneh/canggung dan artificiel. Memang memerlukan waktu untuk menjadi cakap dalam suatu keterampilan. Cara-cara untuk tekun termasuk memberitahukan orang tua keterampilan kelas yang mana dipraktekkan dan menanyakan mereka untuk membantu, memperlakukan keseluruhan sekolah mengerjakan keterampilan yang sama, menaruh isyarat, dan menggunakan kembali keterampilan tersebut pada pembelajaran sekarang dan pada tahun berikutnya.

(e) Pemrosesan interaksi kelompok. 
Sebagai bagian dari masing-masing unit, di mana pembelajaran kooperatif digunakan, waktu hendaknya direncanakan paling tidak sekali untuk pebelajar mendiskusikan bagaimana sebaiknya kelompok mereka bekerja bersama. Pemro-sesan interaksi kelompok ini membantu kelompok belajar bagaimana berkolaborasi dengan lebih efektif. Hal itu dapat ditetapkan selama atau di akhir kegiatan.
Pemrosesan interaksi kelompok memiliki dua aspek. Pertama, menjelaskan tentang keberfungsian kelompok. Contoh, anggota khusus dapat dipuji dalam waktu tertentu mereka membantu menjelaskan poin yang sulit untuk teman kelompok mereka. Kedua, kelompok akan mendiskusikan apakah interaksi mereka perlu diperbaiki.
Kadang-kadang, guru akan meminta bahwa keterampilan-keterampilan kolaboratif khusus didiskusikan selama pemrosesan interaksi kelomok. Guru dapat menanyakan pebelajar untuk berkonsentrasi bagaimana sebaiknya kelompok mereka yang tidak membuat seseorang berhasil memahami suatu poin sebelum melanjut-kan. Pemrosesan dibantu jika guru dan pebelajar melakukan observasi sementara kelompok tersebut bekerja bersama. Pemrosesan interaksi kelompok adalah suatu unsur kunci pembelajaran koopeatif, karena dia memberikan pebelajar manfaat balikan mengenai keterampilan kelompok mereka dan dia memperkenalkan kepada pebelajar bahwa guru menempatkan hal yang penting bagaimana sebaiknya mereka bekerja bersama.

(f) Interaksi tatap muka (face-to-face interaction). 
pebelajar akan berinteraksi secara langsung antara satu dengan yang lain sementara mereka bekerja. Mereka mungkin berkomunikasi secara verbal dan/atau nonverbal. Interaksi akan terjadi antar pebelajar. Ketika pebelajar ditanyakan untuk bekerja secara independent, mereka secara reil mencari dan menemukan jawaban sendiri-sendiri dan kemudian berjumpa dalam kelompok untuk mendiskusikan jawaban-jawaban tersebut. Teknik ini mencirikan interaksi tatap muka, yang sekaligus membedakannya dengan iklim pembelajaran indi-vidualistik.
Pertanyaan sering diajukan oleh kelompok pembelajaran kooperatif yang harus mengerjakan dengan jadual waktu untuk interaksi tatap muka. Kapan dan seberapa sering kelompok itu berjumpa? Berapa banyak waktu, selama atau di luar jam sekolah, akankah kelompok menghadiri petemuan? Kapan seharusnya orang yang mendukung pebelajar berada dalam kelas (misalnya, guidance concelors, health professional, konsultan luar, therapists) mengikuti pertemuan? Apa arti anggota kelompok menyiarkan informasi secara cepat antar mereka ketika perencanan pertemuan formal tidak dijadual (misalnya, log komunikasi, sebuah papan buletin elektronik di kelas komputer, catatan “post-it”)?
Pertanyaan tentang interaksi tatap muka akan dijawab melalui diskusi anggota kelompok dan kesepakatan secara kolaboratif. Waktu harus ditata untuk angota-anggota kelompok untuk tidak hanya merencanakan pelajaran kooperatif, tetapi juga untuk mengevaluasi kefektifan pelajaran tersebut.
Kebutuhan untuk interaksi tatap muka juga mempengaruhi ukuran kelompok. Literatur pada penataan pembelajaran kooperatif menganjurkan bahwa hendaknya tidak lebih dari lima atau enam anggota dalam suatu kelompok. Keterbatasan ukuran tersebut juga berlaku untuk kelompok-kelompok dewasa jika masing-masing anggota memiliki cukup waktu selama pertemuan.
Landasan Teoretik dan Konseptual Pembelajaran Kooperatif. Landasan teoretik dan konseptual pembelajatan kooperatif berakar dari pandangan filosofis dan perspektif psikologis. Masing-masing kawasan psikologi memiliki perspektif yang khas berdasarkan hasil pelacakannya terhadap pembela-jaran kooperatif selama ini. Kawasan-kawasan psikologi yang banyak memberikan perhatian adalah psikologi behavioristik, psikologi sosial, dan psikologi kognitif.
(a) Perspektif Filosofis: Model Group Investigation. Ide model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and Education (Arends, 1998). Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996), adalah: (1) pebelajar hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat pebelajar; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar berhubungan dengan dunia nyata.
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru dan pebelajar memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana membedakan kemampuan perseorangan. Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja pebelajar, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk pebelajar dan untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat terhadap HAM dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai pebelajar, penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998).

Model group-investigation memiliki enam langkah pembelajaran sebagai berikut.
  1. Grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan),
  2. Planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya),
  3. Investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi),
  4. Organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis),
  5. Presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan
  6. Evaluating (masing-masing pebelajar melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, pebelajar dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.

(b) Perspektif Psikologi Behavioristik: Model Kooperatif STAD.
Berdasarkan pada reviu penelitian pembelajaran kooperatif yang berlandaskan pada psikologi behavioristik, Slavin (1987) mengatakan, bahwa perilaku satu atau lebih anggota membawa berkah untuk kelompok. Kelompok bekerja berdasarkan dua aturan, pertama guru menawarkan penghargaan atau hukuman, kedua anggota kelompok menerapkan penghargaan atau hukuman tersebut satu dengan yang lainnya. Kelompok memotivasi pebelajar agar kelompoknya bekerja dengan baik.
Konsep behavioristik yang lain adalah reinforcement, artinya pebelajar belajar tidak hanya untuk memperoleh penghargaan atau hukuman, tetapi juga melihat orang lain menerima penghargaan dan hukuman. Ciri-ciri khas pembelajaran kooperatif yang berlandaskan psikologi behavioristik (Jacob et al., 1996) adalah: (1) menekankan motivasi ekstrinsik, (2) tugas-tugas pada tataran kognitif rendah, (3) memandang semua pebelajar secara seragam, (4) tidak menekankan sikap, prestasi belajar merupakan tujuan dan diukur dengan tes obyektif, (5) berorientasi pada hasil, (6) guru memutuskan apa yang akan dipelajari dan memberikan informasi untuk dipelajari oleh pebelajar.
Teknik Student Team-Achievement Division (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin (Slavin, 1995) merupakan produk psikologi behavioristik. STAD merupakan teknik pembelajaran kolaboratif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan teknik STAD yang mengacu kepada belajar kelompok pebelajar, menyajikan informasi akademik baru kepada pebelajar setiap minggu melalui informasi verbal atau teks. Pebelajar dalam satu kelas dibagi-bagi menjadi kelompok-kelompok beranggotakan 4-5 orang. Setiap kelompok harus heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai suku, memiliki kemampuan akademik tinggi, sedang, dan rendah. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya. Pebelajar saling membantu satu sama lain dalam rangka memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, dan melakukan diskusi.
Sekali dalam dua minggu, pebelajar secara individual diberikan kuis. Hasil kuis diskor, dan tiap pebelajar diberikan skor perkembangan. Skor perkembang-an ini tidak berdasarkan pada skor mutlak pebelajar, tetapi berdasarkan pada sebeberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor pebelajar yang lalu.
Setiap minggu pada suatu lembar penilaian singkat diumumkan kelompok yang memperoleh skor tertinggi, pebelajar yang mencapai skor perkembangan tertinggi, atau pebelajar yang mencapai skor sempurna pada kuis-kuis tersebut. Kadang-kadang seluruh kelompok yang mencapai kriteria tertentu dicantumkan dalam lembar itu.
Langkah-langkah pembelajaran kolaboratif STAD adalah sebagai berikut.
  1. Sebelum pebelajar berkumpul menurut kelompok STAD masing-masing, Guru menjelaskan ringkasan materi sekitar 10-15 menit.
  2. Guru mempersilahkan para pebelajar berkumpul menurut kelompok STAD masing-masing.
  3. Semua kelompok disuruh menyelesaikan tugas-tugas yang ada dalam LKS sampai tuntas untuk cakupan materi tertentu sesuai dengan alokasi waktu yang disediakan.
  4. Masing-masing pebelajar berdiskusi dan saling bertukar pendapat untuk memformulasikan jawaban.
  5. Salah seorang anggota kelompok bertugas menulis jawaban yang telah disepakati bersama.
  6. Guru mengumpulkan laporan masing-masing kelompok.
  7. Setidak-tidaknya setelah dua atau tiga LKS selesai dibahas, Guru memberikan kuis, soalnya diambilkan dari LKS atau soal dibuat sendiri untuk alokasi waktu 10 menit.
  8. Laporan pebelajar dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.
  9. Hasil kuis dikoreksi dan dibuat daftar kemajuan yang dialami oleh pebelajar.

(c) Perspektif Psikologi Sosial. Model Kooperatif Jigsaw.
Perspektif psikologi sosial tentang belajar menegaskan adanya pergeseran paradigma dari konsep “transmisi pengetahuan expert ke novice” menuju pada suatu konsep “pengkonstruksian aspek sosial pengetahuan” (social construction of knowledge). Dengan pergeseran paradigma ini, rasional pendekatan-pendekatan kelas yang mendorong peningkatan dialog antar para pebelajar memperkuat kembali ide-ide tentang peer-mediated instruction, meliputi komunitas-komunitas para pebelajar, pembelajaran kolaboratif, pentutoran teman sebaya, dan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada interaksi-interaksi sosial, dinamika kelompok, proses belajar dan pembelajaran, pengakomodasian perbedaan-perbedaan individu, pencapaian tujuan-tujuan pendidikan majemuk, pengembangan sosial dan personal pebelajar, dan pengembangan keterampilan-keterampilan akademik dan interpersonal pebelajar. Pendekatan pembelajaran kooperatif berorientasi pada sifat dasar pembelajaran manusia.

Model pembelajaran koopertif Jigsaw adalah produk perspektif psikologi sosial. Konsep kunci pendekatan tersebut adalah positif interdependent, yang memperhatikan persepsi tentang bagaimana mempengaruhi dan dipengaruhi. Ide ini bermula dari pikiran Deutsch yang menemukan bahwa positif interdependent mengarahkan penampilan superior. Johnson telah memperluas pendekatan ini dengan: (1) mengembangkan cara-cara mendorong positif interdependent, (2) mengusut struktur-struktur pembelajaran kooperatif dalam beberapa seting, (3) mendiseminasikan konsep-konsep tersebut pada para guru. Sistem Johnson memiliki lima unsur kunci, antara lain: (1) positif interdependent, (2) individual accountability, (3) face-to-face interaction, (4) teaching collaborative skills, dan (5) processing group interaction.

Psikolog lain, Gordon Allport lebih melihat relasi antar kelompok. Dia mengingatkan bahwa dengan hanya menerapkan hukuman, tidak akan berhasil baik mengurangi kecurigaan antar kelompok maupun dalam meningkatkan kadar pene-rimaan dan pemahaman antara anggota. Untuk mencegah terjadinya kecurigaan antar etnik dan ras, Sharan mengikhtisarkan tiga kondisi yang telah dirumuskan oleh Allport tersebut. Tiga kondisi tersebut adalah: (1) kontak langsung antar etnik, (2) sama-sama berperan dalam kondisi yang sama antar anggota dari berbagai kelompok dalam seting tertentu, dan (3) perlunya kesepakatan bersama antar etnik dan ras dalam mewujudkan seting tersebut.
Psikolog Aronson yang juga menerapkan ide Allport didasari oleh kenyataan bahwa dalam lingkungan kompetitif (negatif interdependent) pebelajar tidak akan saling memahami satu sama lain. Hal ini disebabkan karena dalam suasana belajar kompetitif, anak-anak mempersepsi bahwa mereka dapat mencapai tujuan jika dan hanya jika teman mereka lainnya tidak bisa mencapai tujuan yang sama. Aronson melihat bahwa perubahan proses pendidikan memerlukan pebelajar memandang satu sama lain sebagai kolaborator ketimbang sebagai kompetitor. Teknik Jigsaw yang dikembangkan oleh Aroson adalah bagian dari perubahan ini.
Dalam model pembelajaran kooperatif Jigsaw, pebelajar dikelompokkan menjadi empat atau lima orang dalam satu kelompok. Dalam pembagian tugas yang harus dikerjakan oleh pebelajar, terdapat dua jenis kelompok, yaitu kelompok asal dan kelompok ahli. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif Jigsaw, adalah sebagai berikut.
Guru mensosialisasikan kepada pebelajar tentang model pembelajaran kooperatif Jigsaw yang akan digunakan sebagai seting pembelajaran.
Guru dan pebelajar menyepakati pembentukan kelompok-kelompok asal.
Guru dan pebelajar pada semua kelompok asal menyepakati pembagian kelompok ahli dan membagi tugas untuk masing-masing ahli.
Guru dan pebelajar menyepakati pembagian waktu yang digunakan oleh kelompok ahli untuk berdiskusi dan waktu yang digunakan oleh kelompok asal untuk melakukan pentutoran teman sebaya.
Kelompok ahli dipersilahkan bekerja pada masing-masing kelompok untuk mendikusikan tugas sesuai keahliannya selama waktu yang telah disepakati.
Setelah kelompok ahli selesai membahas tugasnya, masing-masing ahli kembali berkumpul ke kelompok asal.
Di kelompok asal, masing-masing ahli menjelaskan kepada ahli yang lain secara bergiliran tentang tugas yang menjadi tanggung jawab masing-masing, ahli yang menerima penjelasan mengelaborasi untuk melengkapi tugas ke seluruhan, dalam hal ini guru membimbing agar terjadi proses pentutoran secara efektif.
Guru menunjuk secara acak salah satu kelompok untuk presentasi hasil diskusinya, kelompok yang lain mencermati, menanggapi, bertanya, menjelaskan, dan menyempurnakan laporan masing-masing.
Guru mengumpulkan hasil laporan kelompok untuk seanjutnya dikoreksi, dinilai, dan dikembalikan pada pertemuan berikutnya, dan mengumumkan nilai-nilai kelompok, serta memberikan penghargaan kepada kelompok yang paling unggul.

(d) Perspektif Psikologi Kognitif: Model Kooperatif MURDER.
Psikologi kognitif memiliki perspektif dominan dalam pendidikan masa kini yang berfokus pada bagaimana menusia memperoleh, menyimpan, dan memroses apa yang dipelajarinya, dan bagaimana proses berpikir dan belajar itu terjadi. Dua psikolog kognitif, Piaget dan Vigotsky (dalam Jacob, 1999; Jacob et al., 1996) menekankan bahwa interaksi dengan orang lain adalah bagian penting dalam belajar. Salah satu metode pembelajaran kolaboratif yang dihasilkan dari perspektif psikologi kognitif adalah MURDER (Hythecker dalam Jacob et al., 1996). 

Teknik MURDER yang menggunakan sepasang anggota dyad dari kelompok beranggotakan 4 orang, memiliki enam langkah, yaitu: 
  1. Mood, mengatur suasana hati (mood) yang tepat dengan cara relaksasi dan berfokus pada tugas belajar; 
  2. Understand, membaca bagian materi tertentu dari naskah tanpa menghafalkan; 
  3. Recall, salah satu anggota kelompok memberikan sajian lisan dengan mengulang materi yang dibaca; 
  4. Detect yang dilakukan oleh anggota yang lain terhadap munculnya kesalahan atau kealpaan catatan; 
  5. Elaborate oleh sesama pasangan; langkah-langkah 2, 3, 4, 5 diulang untuk bagian materi selanjutnya; 
  6. Review hasil pekerjaannya dan mentransmisikan pada pasangan lain dalam kelompoknya.

Langkah-langkah pendeteksian, pengulangan, dan pengelaborasian dapat berhasil memperkuat pembelajaran karena pasangan dyad harus secara verbal mengemukakan, menjelaskan, memperluas, dan mencatat ide-ide utama dari teks. Dalam hal ini, keterampilan memroses informasi lebih diutamakan. Pemrosesan informasi menuntut keterlibatan metakognisi—berpikir dan membuat keputusan berdasarkan pemikiran. Di samping itu, langkah elaborasi memungkinkan sang korektor menghubungkan informasi-informasi yang cukup penting dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebe-lumnya. Keterampilan kolaboratif sangat penting ditekankan dalam seting MURDER.

Langkah-langkah pembelajaran kolaboratif MURDER adalah sebagai berikut.
  1. Pebelajar dalam kelompok dibagi menjadi dua pasangan dyad, yaitu dyad-1 dan dyad-2 dan memberikan tugas pada masing-masing pasangan.
  2. Setelah penataan suasana hatu, salah satu anggota dyad-1 menemukan jawaban tugas-tugas untuk pasangannya dan anggota yang lain menulis sambil mengoreksi jika ada kekeliruan. Hal yang sama juga dilakukan oleh pasangan dyad-2.
  3. Setelah pasangan dyad-1 dan pasangan dyad-2 selesai mengerjakan tugas masing-masing, pasangan dyad-1 memberitahukan jawaban yang ditemukan oleh mereka kepada pasangan dyad-2, demikian pula pasangan dyad-2 memberitahukan jawaban yang ditemukan oleh mereka kepada pasangan dyad-1, sehingga terbentuklah laporan lengkap untuk seluruh tugas hari itu.
  4. Masing-masing pasangan dyad dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulan.
  5. Laporan masing-masing pasangan dyad terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif.
  6. Laporan pebelajar dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
  • Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. 2001. Exploring teaching: An introduction to education. New York: McGraw-Hill Companies.
  • Brooks, J. G., & Brooks, M. G. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
  • Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second edition. Boston: Allyn and Bacon.
  • Costa, A. L.1991. The school as a home for the mind. Palatine, Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc.
  • Cooper, J. L., Robinson, P., & Miyazoki, Y. 1999. Promoting core skills through cooperative learning. Dunne, A. (Ed.): The learning society. 140-148. London: Kogan Page Limited.
  • Dahar, R. W. 1989. Teori-teori belajar. Jakarta: Erlangga
  • Fogarty, R., & McTighe, J. 1993. Educating teachers for higher order thinking: The three-story intellect. Dalam Donmoyer, R., & Merryfield, M. M (Eds.): Theory into practice: Teaching for higher order thinking. 32(3). 161-169.
  • Gaer, S. 1998. What is project based learning? http://members.aol.com/CulebraMom/ pblprt.html
  • Gagne, R. 1977. The Conditions of Learning. Renehart and Winston, Inc.
  • Gagne, R. 1985. The Conditions of Learning and Theory of Instruction. Fourth Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston.
  • Gardner, H. 1999. Intelligence reframed: Multiple intelligences for the 21th century. New York: Basic Books.
  • Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach. Boston: Allyn and Bacon.
  • Hill, S,. & Hill, T. 1993. The collaborative classroom: A guide to co-operative learning. Malvem Rood Australia: Eleanor Curtain Publishing.
  • Jacobs, G.M., Lee, G.S, & Ball, J. 1996. Learning Cooperative Learning via Cooperative Learning: A Sourcebook of Lesson Plans for Teacher Edu-cation on Cooperative Learning. Singapore: SEAMEO Regional Language Center.
  • Joyce, B., & Weil, M. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
  • Kardi, H., & Yuliariatiningsih, M. S. 2002. Implementasi kurikulum berbasis kompetensi: Model-model pembelajaran. Bandung: Media Informasi.
  • Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1996. The new sourcebook for teacing reasoning and problem solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon.
  • Marzano, R. J. 1993. How classroom teachers approach the teaching of thinking. Dalam Donmoyer, R., & Merryfield, M. M (Eds.): Theory into practice: Teaching for higher order thinking. 32(3). 154-160.
  • Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning. Second edition. Boston: Allyn and Bacon.
  • Yuliariatiningsih, M. S. 2000. Pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan keteramplan berpikir rasional siswa SD. Tesis (Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
 

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar